Saya pernah terlibat perbedebatan dengan tukang kolam, yang membuatĀ kolam ikan. Perdebatannya seperti ini. Air kolam tersebut, setiap dikasih penuh air, selalu menyusut satu jengkal, dan setelah itu airnya stabil.
Saya mengatakan dinding kolam tersebut bocor. Tukang itu mengatakan, kebocoran terjadi pada pelataran bawah. Menurutnya, airnya menyusut karena tekanan air. Lalu saya memakai “common sense”, kalau kebocoran pada bagian bawah, airnya akan habis secara perlahan. Dari reaksi tukang itu, tampaknya tidak menerima pandangan saya.
Karena belum ada jalan keluar, saya mencoba bertanya ke publik WA yang bisa memberi masukan. Saya memilih sebuah group WA yang di dalamnya berasal dari lintas keilmuan. Di luar dugaan, banyak memberi komentar. Ada kawan yang langsung berkomentar, “mungkin kebocoronnya ada pada anggaran.” Yang lain mengatakan, “tekanan memang sering terkait dengan kebocoran, misalnya tekanan gaya hidup.” Yang lain mencandai saya, cek coba berapa kucing di sekitar, mungkin sering minum di kolam itu. Yang lain muncul juga, meminta mengecek apa masalahnya kalau turun sejengkal. Sepanjang ikan-ikannya tidak keberatan, dibiarkan saja.
Saya dibuat sedikit kesal dari ulah teman-teman ini. Saya menunjukkan keseriusan saya dengan meminta di antara teman yang memahami ilmunya. Misalnya teori tekanan air, massa air, penguapan air dan semacamnya. Saya mengatakan, bahwa ini penting demi harga diri ilmu pengetahuan di depan tukang kolam tersebut.
Mulailah ada yang serius mengulasnya. Ada yang bilang, secara keahlian, apa yang disampaikan tukang kolam lebih valid dari pikiran saya, karena dia tukang sementara saya hanya menggunakan persespi kewajaran. Muncul lagi teman yang lebih ahli, menggunakan pendekatan teori evaporasi, penguapan air, dan penyusutan air karena penguapan. Penyusutan air juga bisa terjadi karena perputaran air di kolam sangat stagnan sehingga menyebabkan air meresap ke tanah dan dibantu oleh tekanan kuat dari atas. Dalam batas ini, tukang kolam itu ada benarnya.
Setelah menyimak ragam masukan itu, saya semakin tersadar bahwa proses mengilmui sesuatu bisa dengan melakoninya, misalnya menjadi tukang, atau belajar secara formal, misalnya mempelajarinya secara serius di bangku kuliah. Kedua cara ini harus diposisikan pada level yang sama, kaum profesional.
Itulah realitas di negara maju, tukang kolam, tukang pipa, atau tukang kebun, dihargai pendapatannya sama bahkan lebih tinggi dari pendapatan dosen di universitas. Untuk validitasnya bisa cek pada teman-teman dosen yang pernah jadi “tukang” selama kuliah di sana, misalnya tukang pembersih (cleaner). Maksud saya, boleh juga tanya saya.
Tukang itu dipersepsi sebagai orang mengilmui pekerjaannya. Mereka mengadopsi keilmuan itu dari “learning by practicing.” Itu bisa lebih kuat efeknya dibanding sekadar “learning from the learned”.
Negara maju menerapkan ajaran islam secara substantif tentang ketinggian beberapa derajat bagi mereka yang berilmu pengetahuan. Sebagian kita hanya mempersepsi secara “letterlijk” tentang siapa yang dimaksud sebagai orang yang berilmu. Terkhusus saya, merasakan adanya ketersinggungan “derajat keilmuan” ketika didebat oleh tukang kolam tersebut.
Comments