
Kementerian Komunikasi dan Informatika menangani sebanyak 1.615 konten isu hoaks yang beredar di website dan platform digital selama tahun 2023. Sehingga, total hoaks yang mereka tangani sejak bulan Agustus 2018, sudah mencapai 12.547 konten isu hoaks.
Keminfo menunjukkan jumlah ini meningkat dari tahun 2022, yaitu 1.528 isu hoaks. Isu tertinggi terkait kesehatan, penyebaran Covid 19. Berikutnya yaitu konten penipuan dan kebijakan pemerintah, serta tertinggi ketiga adalah isu politik sebanyak 1.628 isu hoaks.
Temuan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) juga cukup tinggi. Mereka menemukan 2.330 hoaks selama tahun 2023 dengan hoaks politik sebanyak 1.292. Sebanyak 645 di antaranya adalah hoaks terkait Pemilu 2024. Menurut mereka jumlah hoaks politik itu dua kali lipat lebih banyak dibandingkan hoaks sejenis pada musim Pemilu 2019 sebanyak 644.
Platform Youtube menjadi tempat ditemukan hoaks terbanyak, sejumlah 44.6%, diikuti oleh Facebook (34.4%), Tiktok (9.3%), Twitter atau X (8%), Whatsapp (1.5%), dan Instagram (1.4%).
Besarnya polusi hoaks di ruang publik sangat mengganggu kehidupan berdemokrasi kita. Netizen Indonesia yang sebagian besar belum terdidik tentang konten dan digitalisasi dapat mengalami disinformasi. Perilaku dan pemikirannya terpengaruh karena kuat dan intensnya terpaan hoaks tersebut. Termasuk dalam bidang dan masalah politik.
Hoaks dan Dominasi Tema Politik dalam Wacana Ruang Publik
Patut kita cermati bahwa dalam dua dekade terakhir, wacana politik benar-benar telah menjadi dominan di dalam ruang publik. Rasa-rasanya, perbincangan yang tak kesurupan topik politik sulit lagi dihindari oleh kita di tengah-tengah masyarakat.
Menguatnya isu politik diruang publik tak lepas dari momentum politik di Indonesia yang seperti tak usai-usai. Sebutlah pemilihan Presiden dan wakilnya. Pemilihan dari satu kepala daerah ke kepala daerah lainnya. Pemilihan anggota dean. Hingga di lingkup kecil, pemilihan kepala desa, sampai pemilihan ketua rukun tetangga (RT). Di kampus yang penuh tradisi akademik. Adapula pemilihan politik rektor. Jadi, hampir-hampir tak ada lagi ruang yang tersisa bila menyoal politik ini.
Dominasi politik mengalihkan perhatian publik pada pelayanan-pelayanan dasar di pemerintahan, bidang kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Kita bisa memotret fenomena ini di media mainstream yang selama ini sebagai corong informasi bagi publik. Dialog-dialog mereka tak banyak menyoal masalah rakyat seperti petani, nelayan, dan isu-isu dasar mayarakat. Ya, kalaupun ada, persentasenya sangat kecil.
Tapi tak soal. Realita ini sesungguhnya adalah potret positif. Indikasi bahwa di Indonesia, proses demokrasi sedang berjalan. Satu kondisi yang diimpikan oleh massa reformasi di tahun 1998 setelah menurunkan rezim orde baru. Sebab itu, publik di negara ini patutlah bersyukur.
Bagaimana tidak. Pasca turunnya presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun di tahun 1998. Saat kondisi pemerintahan kembali stabil di tahun 1999. Indonesia di masa depan yang maju, yang demokratis, yaitu antitesa dari Orde Baru yang dinilai sarat korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bayangan dan harapan setiap orang.
Tapi berikutnya, apa yang terjadi? Usai bangsa ini melalui berbagai pemilihan demi pemilihan presiden. Dan, juga melewati berbagai rancang bangun sistem tata kelola pemerintahan. Di pusat maupun di daerah. Bayangan itu tampak masih jauh.
Demokrasi yang kini berjalan masih sebatas prosedural. Sedangkan substansinya, yaitu penyelenggaraan negara yang transparan, akuntabel dan jauh dari tekanan politik belum sepenuhnya terealisasi. Sebaliknya, proses ini justru dipenuhi catatan buruk seperti tingginya angka korupsi di tubuh pemerintahan, proses politik yang dibayangi abuse of power, politik uang atau transaksional, pemilih pragmatis, partai politik id yang rendah, akses terhadap suksesi kepemimpinan yang tidak terbuka, dan lain sebagainya.
Dalam konsep dan praktik negara demokrasi, preferensi-preferensi politik berbeda sesuungguhnya biasa saja. Tapi di Indonesia, kita seperti tak siap menghadapi perbedaan tersebut.Ada gejala besar, sistem keterbukaan yang dibangun pasca reformasi-termasuk politik dan pemerintahan, malah mendorong masyarakat Indonesia pada disintegrasi sosial.
Pilihan politik seringkali memecah masyarakat secara sosial. Masalah utamanya, perpecahan atau polarisasi ini tidak sementara. Seringkali bertahan lama. Bisa dilihat dari perilaku pasca pemilihan, seperti hubungan sosial yang terputus di tengah masyarakat, pembunuhan karakter, kriminalisasi, hingga konflik.
Di era kecanggihan teknologi informasi. Dengan berkembangnya platform media baru berbasis daring, polarisasi politik makin terawat. Seperti pembangunan yang berkelanjutan. Dan serupa cerita yang tiada ending.
Saat ini, platform media baru memang telah memainkan peran besar dalam transformasi informasi di ruang publik. Beban penyebarluasan informasi yang dulu hanya dipundak media-media mainstream kini diambil alih juga oleh mereka. Platforma media baru mudah dan dapat diakses siapapun. Media baru juga mewakili individu.
Sayangnya, media baru yang lebih bebas dan terbuka berada di luar kontrol dalam proses penyebarluasan informasinya. Kabar beredar di media baru sifatnya personal ke personal, sehingga verifikais data benar-benar hanya dibatasi oleh hak dan etika personal penerima pesan.
Berbeda dengan media mainstream yang memiliki mekanisme verifikasi dan validasi data yang dikelola secara formal, bertahap dan berjenjang. Informasi Media mainstream juga memiliki standar dan kaidah-kaidah baku dalam penyebarluasan informasi kepada publik.
Kebebasan dan keterbukaan media berbasis daring inilah yang dimanfaatkan oleh individu untuk menyebarluaskan hoaks. Tujuannya bermacam-macam. Kalau dalam politik, tujuannya bisa jadi untuk menaikkan popularitas dukungan politiknya, dan bisa pula untuk menjatuhkan popularitas lawan politiknya.
Menepis Hoaks dari Ruang Publik
Polarisasi sesungguhnya niscaya dalam politik. Apalagi bila masyarakat ter-fragmentasi ke dalam ideologi politik atau fatsoen partai politik. Namun, kondisi ini akan bersifat konstruktif bila masyarakatnya terdidik secara politik. Namun akhir-akhir ini, polarisasi di tengah publik adalah polarisais yang saling menegasi.
Upaya penegasian satu sama lain hanya akan melahirkan konflik. Doktrin ini juga pernah berlaku dalam demokrasi Amerika di fase awal kebangkitannya. Bahwa sebuah negara demokrasi hanya bisa lahir bila minoritas dipaksa berasimilasi dengan mayoritas.
Kenyataannya, Indonesia memiliki masyarakat yang berlatarbelakang majemuk. Kerjasama dan kolaborasi merupakan langkah tepat dalam membangun negara ini. Namun, kerjasama tersebut idealnya didasari oleh nurani dan idealisme kerakyatan sebagaimana cita-cita dasar dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itu, di tengah perkembangan teknologi dan informasi yang kompleks. Kita perlu menjernihkan ruang publik. Menepis polusi ruang publik yang mengancam kehidupan berdemokrasi, yaitu hoaks.
Kesadaran tentang bahaya informasi palsu ini perlu disebarluaskan dengan mendalam kepada publik. Dan peran ini, harus diambil setiap entitas yang memiliki kesadaran tentang masalah ini di dalam masyarakat. Di samping itu, ruang publik kita juga perlu terus dididik tentang budaya berpikir analitik dasar, berpikir kritis terhadap segala pesan dan informasi.
Kita perlu memahami secara kolektif, bahwa Indonesia memang menganut paham demokratis. Tapi bukan berarti demokrasi sebagaimana dianut di barat, yaitu demokrais yang menjamin individu bebas, sebebas-bebasnya. Demokrasi Indonesia adalah cara hidup bernegara yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional dan agama sebagai basis moralitasnya (*)