
Abdul Chalid : Dosen atau pengajar di program Studi Ilmu Politik UTS Makassar
Hampir-hampir, tak ada lagi ruang yang dalam hidup kita yang hampa dari wacana pemilihan umum. Sejak dua tahun lewat, dialog-dialog tentang pemilihan umum tahun 2024 telah ramai berlangsung, baik di ruang sosial nyata, maupun di media dan platform medsos.
Apalagi di tahun ini. Bila dihitung-hitung maka praktis, Pemilu tinggal setahun lagi. Kita segera bakal menghadapi pemilihan langsung yang pikuk dengan segala hal terkait politik pemenangan. Merasuk ke hampir seluruh sendi kehidupan, sehingga individu dalam masyarakat telah dominan menjadi individu politik.
Entah, kapan akhirnya. Ya, sebuah kenyataan yang tak mungkin dinafikkan bahwa akhir-akhir ini, politik begitu mendominasi wacana ruang publik kita. Tak terkecuali media massa sebagai salah satu institusi demokrasi dan sekaligus sebagai ruang publik baru.
Kini, sebagian media yang muncul bahkan memokuskan visinya secara spesifik pada penyediaan informasi atau isi berita seputar politik-paling tidak mendaulat diri sendiri sebagai media penyedia informasi politik terdepan. Terutama pada media dengan lokus sebaran masyarakat daerah.
Dalam banyak teori dikatakan, bahwa politik memang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat kita. Individu-individu dalam masyarakat merupakan manusia dengan peran – peran ganda, ia manusia politik, ia pula manusia ekonomi, dan ia pula manusia budaya, dan lain-lain-paling tidak, pandangan seperti itu dapat ditemukan pada pemikiran tokoh seperti Robert Dahl dkk.
Peran-peran itu bisa dijalankan secara berbeda pada waktu dan konteks berbeda, namun dapat pula dijalankan secara bersamaan dalam waktu dan konteks yang sama. Oleh karena itu, tak heran, bila akhirnya di tengah masyarakat, kita akan dengan mudah menemukan pangkalan ojek sekaligus berfungsi sebagai posko pemenangan, ketua masjid sekaligus juru kampanye kandidat tertentu, dan lain sebagainya. Demikian pula media massa. Di samping menyandang status sebagai industri yang berorientasi pada ekonomi, di sisi lain juga mengemban amanah sebagai salah insititusi demokrasi.
Lewat media, kebebasan berbicara dan berpendapat dapat tersalurkan dengan efektif. Media massa menempatkan diri sebagai representasi publik. Dan, sebagai representasi publik, media menjalankan fungsinya sebagai penyedia informasi bagi publik. Termasuk memenuhi kebutuhan individu dalam masyarakat atau publik sebagai individu politik.
Akan tetapi, seperti dikemukakan sebelumnya pada tulisan ini, peristiwa politik yang disajikan media cenderung tidak proporsional. Melebihi dari kebutuhan yang seharusnya diterima secara ideal individu sebagai pemeran ganda dalam masyarakat.
Pada ruang publik atau masyarakat, tidak semua wacana dapat diterima sebagai kebutuhan bersama. Termasuk wacana politik yang begitu sangat dominan. Lebih parah lagi, karena media merupakan ruang tempat berkumpulnya aktor dan individu yang juga memiliki peran ganda, memasukkan kepentingannya agar ikut tersalurkan ke ruang publik.
Harapannya, agar kepentingan tersebut bertransformasi jadi agenda publik. Masalahnya adalah sejak Pemilihan Umum dan Pemilukada, atau sekarang Pilkada serentak berlangsung, aktor media juga lebih condong memainkan peran politiknya. Tentu saja, pada bangunan besar media, kumpulan peran politik individu secara tidak langsung menjadi peran politik media massa.
Pada akhirnya, posisi media sebagai institusi demokrasi mengalami degradasi. Khususnya dalam konteks pemberitaan peristiwa politik selama Pemilu dan Pilkada berlangsung. Kenyataan itu, misalnya saja dapat disaksikan lewat pemberitaan berbagai media massa selama Pemilu dan Pilkada lalu.
Tak jarang, media berfungsi ganda sebagai alat politik, bahkan jadi aktor politik yang memaksakan kepentingan elit pada publik. Muncul pertanyaan di benak kita. Mengapa ketika Pemilu dan Pilkada tiba, media dan sebagian aktornya dominan memainkan peran politiknya? Ya, karena dengan menjalankan peran politiknya itu, media sekaligus menjalankan peran ekonominya.
***
Seiring dengan liberalisasi sistem politik, sistem kepartaian dan rezim Pemilu di Indonesia, peristiwa politik memang telah berubah menjadi komoditas. Kuatnya persaingan memperebutkan kursi kepemimpinan, baik di pusat maupun di daerah, mendorong para elit untuk menggunakan atau menempuh segala cara. Termasuk menguasai wacana media. Mereka tak tanggung-tanggung mengeluarkan biaya besar, sehingga membuka peluang bagi media meraup keuntungan secara ekonomi.
Atas alasan ini pula, beberapa media lokal yang muncul, memanfaatkan berita politik sebagai karya utamanya. Entah, apakah peristiwa itu dibutuhkan publik atau tidak, tanggungjawab pendidikan politiknya dijalankan atau tidak.
Sekarang, Pilkada serentak di depan mata, namun aroma keterlibatan media dalam memainkan peran politiknya mulai merebak. Khususnya di ranah media sosial. Sehari-hari, kita dengan mudah menebak kecenderungan pemberitaan politik beberapa situs berita.
Misal, dilihat dari penonjolan berita kandidat tertentu yang bersaing di daerah. Nah, semoga media massa yang berbasis cetak dan elektronik seperti televisi dan radio tidak demikian…