
Di pemilihan walikota Makassar 2020, empat pasangan calon resmi terdaftar sebagai kandidat. Setiap pasangan calon ini punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Terutama karena mereka “dikawinkan” oleh partai pengusungnya. Lazimnya “perkawinan politik”, chemistry hubungan politik mereka belum terukur. Bisa jadi justru mereka saling melengkapi dan memperluas basis dukungan, bisa juga sebaliknya justru menggerus elektabilitas pasangan. Apalagi jika keduanya berasal dari basis sosiokultural yg berbeda.
Tantangan bagi calon pasangan yang tidak memiliki investasi sosial politik di kota Makassar. Mereka harus bekerja ekstra, untuk mensosialisasikan diri di situasi pandemi Covid 19.
Tetapi Pilwali Makassar ini bisa sangat dramaturgis. Pertarungan dimenangkan di “panggung depan” bukanlah kemenangan yang sesungguhnya. Masih ada tarung “panggung belakang” yang harus dimenangkan dari persaingan para tokoh-tokoh besar dari “belakang layar”. Ujian kontestasi yang sesungguhnya.
Sebenarnya kandidat petahana selalu punya previlege, dia sdh meninggalkan legacy. Apalagi penantang tidak terkonsolidasi di satu kelompok perlawanan. Tetapi kekurangannya, kualitas kepemimpinan menjadi terukur. Tidak ada lagi pesona. Kandidat-kandidat penantang butuh kerja elektoral yang berlipat ganda untuk mengalahkan petahana.
Di beberapa potret survey, posisi elektoral petahana masih leading, tetapi dengan jarak yg sangat komptetitif dengan penantangnya. Tingkat persaingan masih ketat. Peluang bagi penantang masih terbuka, tentu saja dengan memaksimalkan sumberdaya elektoral yg di miliki. Sampai di last minute pemilihan.
Memang Pilwali Makassar ini bisa di lihat secara dramaturgis. Di panggung depan seperti hanya pertarungan “orang-orang kecil”, sebab “orang-orang besar” lah sedang bertarung di panggung belakang. Pertarungan para patron politik tradisional.
Semua kandidat punya ketergantungan yang tinggi pada patron politiknya. Tentu saja kualitas ketergantungan itu bisa berbeda. Kita bisa saksikan di setiap momen sosialisasi kandidat saling berlomba mengidentifikasi diri dekat dengan tokoh politik tertentu.
Politik yg berbasis patronase seperti itu tidak melihat pemilih sebagai subjek yang otonom. Menggiring dukungan patron, berati menggiring suara pemilih yang memiliki hubungan followership (kepengikutan) pada patronnya. Pemilih hanya di lihat sebagai voters, yang mengikuti patronnya. Bukan demos, yang bebas menentukan pilihan2nya secara otonom.
Penulis Oleh : A Luhur Prianto, Pengamat Politik Pemerintahan Unismuh Makassar