Muhammad Miftah 21 Oktober 2020

Oleh Yanuardi Syukur


Agensi adalah kemampuan aktor untuk membuat perubahan pada dunia sekitarnya. Santri, pesantren atau lulusan pesantren memiliki banyak cerita kontribusi untuk bangsa Indonesia.


Abdurrahman Wahid adalah santri. Keturunan kiai, pembelajar, dan juga aktivis. Karier politiknya paling tinggi di Indonesia: presiden. Dia tidak bergelar, baik itu dari Mesir atau Irak. Tapi pemikirannya diakui, bahkan namanya menjadi jaminan terutama dalam dialog antaragama.


Nurcholish Madjid juga santri. Tamatan Gontor. M. Kamal Hassan dalam disertasinya membahas salah satunya tentang perubahan Cak Nur lewat tulisannya ketika disebut sebagai ‘Natsir Muda’ hingga dikritik oleh berbagai tokoh, salah satunya Prof. Rasyidi pasca pidato dan tulisan pembaharuannya. Tapi kritikan Natsir terhadap Cak Nur tidak banyak kita baca. Kendati kecewa dengan sikap Cak Nur di awal Orde Baru itu, Natsir berkomentar lembut: “Di dalam perjuangan, rumput kering pun ada manfaatnya. Apalagi seorang Nurcholish Madjid, doktor lulusan Chicago.” Demikian tulisan Lukman Hakiem, mantan staf Natsir dan Jusuf Kalla.

Ma’ruf Amin yang kini menjadi Wakil Presiden adalah santri. Ia lebih dikenal sebagai kiai. Santri yang kiai, kiai yang santri, atau tepatnya: telah menjadi kiai, bukan lagi santri. Dikenal luas sebagai orang nomor satu di MUI, petinggi Nahdlatul Ulama, hingga menggantikan posisi Prof Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi untuk melawan Prabowo-Sandi.


Di kalangan muda juga banyak santri yang berkontribusi untuk bangsa. Ulil Abshar-Abdalla, mantan petinggi Jaringan Islam Liberal yang kini banyak disenangi oposisi Jokowi, adalah santri. Beberapa waktu ini lebih banyak ia mengkaji Ihya Ulumuddin, masterpiece Imam Al-Ghazali. Ada semacam pergulatan intelektual yang membuatnya harus memilih ‘jalan pulang’ yang bahagia menjadi kiai ketimbang politisi.

Baca Juga : Meracik Bumbu


Hamid Fahmy Zarkasyi, adalah kiai Gontor, yang hampir dua dekade produktif menulis berbagai topik keislaman bersama koleganya di INSISTS dengan pengaruh signifikan dari Syed Naquib Al-Attas, penulis Islam and Secularism.

Kritikan mereka terhadap liberalisme misalnya, sangat serius berjamaah ketimbang penulis lain yang lebih banyak sebagai ‘lone writer’. Al-Ittihadu asasunnajah, “persatuan kunci keberhasilan.” Kritikan terhadap liberalisme, di matanya adalah bagian kecil dari upaya untuk islamisasi ilmu dan penciptaan manusia yang beradab.


Di luar negeri kita juga biasa baca kisah Imam Shamsi Ali. Lelaki kelahiran Bulukumba, Sulsel, yang lebih dua dekade menetap di jantung dunia, New York, dan giat dalam interfaith dialogue bersama tokoh Kristen, Yahudi, dan lainnya.

Tulisannya sering muncul, tersebar dari grup ke grup dan kegiatannya ‘sambung menyambung menjadi satu’ dari satu negara ke negara lainnya atau zoom ke zoom lainnya–di masa pandemi.


Para santri yang disebutkan di atas masing-masing berkemampuan untuk menimbulkan efek perubahan pada dunia sekitarnya. Dunia yang terhubung pada mereka–komunitas, pertemanan, jejaring–mendapatkan pengaruh dari intensi dan tindakan mereka.

Wujud keagensian mereka terlihat dari berbagai produk, kader, dan sphere of influence terhadap dunia mereka. Nama mereka sering oleh komunitasnya, bahkan tak jarang juga di luar komunitasnya.


Satu hal yang terkadang luput dari agensi para santri mashur adalah penciptaan tulisan masterpiece. Membangun sekolah, pesantren, kampus, pusat studi atau komunitas itu sudah biasa di kalangan santri. Akan tetapi, membuat tulisan masterpiece terlihat belum menjadi intensi serius bagi mereka.


M. Quraish Shihab termasuk santri (atau kiai tepatnya) yang serius menulis masterpiece. Tafsir Al-Mishbah adalah karya itu. Tafsirnya ringan dan mudah dipahami oleh publik Indonesia. Tidak hanya mengutip Thabathabai’i tapi ia juga mengutip Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, hingga Sayyid Quthb, penulis Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dari Mesir. Karya ini bisa disebut masterpiece dari sekian banyak karyanya.


Abdul Malik atau yang dikenal dewasanya sebagai Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), tidak berpendidikan tinggi, tapi dia ‘beruntung’ dapat kesempatan menuntaskan Tafsir Al-Azhar di penjara dua tahun lebih. Ada berkah terselubung, blessing in disguise, ketika harus mendekam di hotel prodeo itu. Masterpiece ‘cendekiawan muslim Asia’, mengutip James R. Rush dari Arizona State University, tentu saja ada pada tafsir tersebut.


Mohammad Natsir tidak menulis tafsir seperti Hamka, tapi tulisannya banyak tersebar, salah satunya Capita Selecta, kumpulan tulisan tentang agama, filsafat, kebudayaan, pendidikan, ketatanegaraan, dan integrasi agama dan negara. Pengaruhnya yang luar biasa dalam ‘mosi integral’ membuat namanya harum di sepanjang eksistensi NKRI. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) juga bisa disebut masterpiece (berbentuk komunitas, tempat, dan cita-cita) yang telah melahirkan banyak tokoh setelahnya.

Para santri yang disebutkan di atas telah berbuat sesuai minatnya, peluang dan tantangan yang ada di zamannya, dan melahirkan warisan untuk generasi penerus. Ada yang mewariskan komunitas, sejarah, cita-cita, hingga teladan baik untuk orang sesudah mereka.
Karya mereka, mulai dari yang berbentuk agensi tindakan sampai pada agensi tulisan adalah bagian dari kontribusi muslim demik kemajuan bangsa dan negaranya. Mereka telah berbuat, selanjutnya sejarah menunggu kiprah para santri setelah mereka.


Jakarta, 21 Oktober 2020

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*