gegge 15 Oktober 2020

Oleh: S. Gegge Mappangewa  

Judul                           : Ibu Adalah Cinta

Penulis                         : Wulansari Apriani, dkk.

Penerbit                       : Dandelion Publishing

Tahun                          : 2020

Membaca Ibu adalah Cinta  seperti melihat semangat para penulisnya di setiap lembarnya. Sebelum terlampau jauh ke soal isi, hal yang tak kalah pentingnya, yang bisa dijadikan pelajaran dalam buku ini adalah proses kreatif para penulisnya, yang mohon maaf jika saya menyebutnya bahwa di antara mereka ada yang bukan penulis, lalu ‘terpaksa’ menulis  . Ibu rumah tangga, pegawai kantoran, ibu dari beberapa anak, membayangkan kesibukan di balik profesi itu  tentu saja menjadi hal yang istimewa jika masih menyempatkan diri untuk menulis.

Meski sebenarnya, alasan banyak pekerjaan hingga tak punya waktu untuk menulis, adalah alasan klasik. Pekerjaan menulis bukanlah pekerjaan menghabiskan waktu berjam-jam. Hanya butuh kedisiplinan, juga keseriusan. Menulis tiga halaman per hari, itu berarti bisa menulis novel setebal 180 halaman dalam dua bulan. Apakah menulis tiga halaman per hari menghabiskan waktu seharian penuh?  Mungkin hanya dua jam. Dua jam ini adalah waktu yang sering dihabiskan dengan cekikian di grup WA, scroll status semua teman di FB, IG, Twitter.   Bahkan lebih dari dua jam, ini biasa dilakukan oleh orang yang merasa dirinya sangat sibuk. Jadi, jika merasa pernah menghabiskan waktu dua jam untuk cekikikan di grup WA, itu berarti kamu bisa  menulis satu novel setiap dua bulan. 

Ibu adalah Cinta adalah antologi kisah nyata para ibu yang mencoba menceritakan perjuangan seorang ibu, baik itu menceritakan diriya sendiri, ibunya, atau ibu mana pun yang menginspirasinya. Menuliskan pengalaman nyata, meskipun bisa disebut sebagai materi paling dasar dalam menulis,  tentu saja tidak bisa disebut sebagai hal yang mudah. Sejak SD, kita sering ditugaskan menulis pengalaman. Pengalaman libur, pengalaman ke rumah nenek, pengalaman kunjungan ke tempat wisata, pengalaman berkemah, dll. Alasan itu yang mendasari saya menyebutnya sebagai materi dasar dalam menulis.

Menulis pengalaman  jika sekadar menulis sesuai apa yang dikerjakan, apa yang dilihat dan didengar, tentu saja adalah hal yang sangat mudah meski itu masih sangat dasar.  Namun, jika sebuah pengalaman ditulis dengan gaya penceritaan yang menarik, membumbuinya dengan imajinasi penulis, dengan diksi penulis, maka hasilnya akan menjadi sangat luar biasa. Laskar Pelangi, adalah kisah nyata yang ternyata kemudian bisa menjadi tetralogi yang best seller bahkan kemudian difilmkan. Apakah empat novel tebal yang tergabung dalam tetralogi karya Andrea Hirata itu, isinya adalah pengalaman nyata semua? Iya. Namun, sebagai penulis, Andrea Hirata mampu menuliskannya dengan bumbu yang pas, dengan diksi yang tepat, juga dengan  imajinasi yang tak terpikirkan oleh orang lain.

Sering terjadi, seorang yang patah hati menuliskan pengalaman patah hatinya dengan menangis, sedih yang dalam, tapi saat tiba di tangan pembaca malah gagal membuat pembaca ikut bersedih apalagi menangis. Ini salah satu bukti bahwa menulis pengalaman nyata itu tidak selamanya mudah, juga sebagai bukti bahwa  penulisnya gagal dalam meracik bumbu untuk tulisannya. Ilmu meracik bumbu ini yang tidak bisa didapat dengan sekali menulis. Butuh jam terbang lebih.

Seorang mahasiswi baru yang baru tahun ini berpisah dengan ibunya. Segalanya diurus sendiri di kosannya. Hingga suatu hari dia merindukan masakan sayur bening ibunya. Labu, bayam, jagung, dibelinya. Dimasak seperti petunjuk ibunya melalui telpon atau bahkan video calling, nggak lupa tambahkan garam sesuai dengan petunjuk ibunya. Hasilnya? Mahasiswi baru ini masih merasa bahwa sayur bening buatan ibunya jauh lebih nikmat. Ini bukan karena persoalan rindu pada ibunya melainkan jam terbang yang berbeda. Ibunya memasak sayur bening mungkin dari gadis hingga punya anak gadis, sementara mahasiswa baru tadi baru memulainya. Itulah yang membuat para ahli bahkan penemu, baru bisa berteriak Yess! setelah berkali-kali gagal dalam percobaannya.

Setiap penulis punya tempat wisuda masing-masing. Beberapa penulis Ibu adalah Cinta  menjadikan antologi ini sebagai tempat wisudanya. Jika benar-benar ingin dikenal sebagai penulis, tentu harus banyak berkarya lagi. Suatu saat bisa memisahkan diri dari antologi, membuat kumpulan cerita sendiri, menulis novel sendiri. Tentu saja itu bukan hal yang mustahil. Menulis adalah skill, hanya butuh pembiasaan. Pembiasaan menulis, membaca, dan menyisihkan waktu untuk menulis. Ya, menyisihkan waktu, bukan menghabiskan waktu. Buku setebal 200 halaman, itu berawal dari halaman pertama. Buku setebal 200 halaman jika ditulis satu halaman per hari, hanya butuh waktu 200 hari (nggak sampai setahun). Jadi, jangan heran kalau ada penulis yang launching buku sekali setahun, itu hal yang biasa buat penulis yang bisa mengatur waktunya. Bahkan launching buku setiap bulan pun bisa, jika bisa menulis minimal 5 halaman per hari.

Ibu adalah Cinta sebagai antologi kisah nyata telah sukses menggambarkan sosok ibu yang penuh perjuangan, dalam tokohnya masing-masing. Meski begitu, tentu saja masih dibutuhkan jam terbang yang  lebih banyak lagi, untuk karya-karya berikut yang lebih gemilang lagi. Berhasil menulis hingga kemudian bisa diterbitkan, tentu saja adalah hal yang sangat istimewa bagi pemula tetapi bukan berarti itu menjadi akhir dari segala pencapaian dalam menulis.   

Jika Andrea Hirata mampu menuliskan pengalamannya dalam sebuah tetralogi, bukan tak mungkin salah satu kisah dalam Ibu adalah Cinta bisa dikembangkan menjadi sebuah novel. Tentu saja setelah penulisnya  menguasai ilmu meracik bumbu tulisan dan memperbanyak jam terbangnya.

BACA JUGA : Jeda, Sekadar Tuk Bernafas

Kisah Subuh Menuju Parepare

Rindu Melingkar

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*