gegge 15 Oktober 2020

Oleh : S. Gegge Mappangewa

Entah atas dasar apa, ketika pertama  menemukannya, aku sangat yakin kalau dia masih bujangan.  Meskipun kami sempat bertabrakan pandang  beberapa detik, tetap saja aku tak menggunakan kata bertemu untuk momen itu. Akulah yang  menikmati momen itu.

Momen di mana kami berdiri di depan pintu lift, dilalap sepi, dan itu bermenit-menit. Puluhan perusahaan yang berkantor di gedung berlantai  dua puluh itu, membuat lift pada jam-jam tertentu selalu sibuk.

Sekali lirik, aku bisa menyapu bersih janggutnya yang tidak terlalu tebal. Lirikan berikutnya  alis hitamnya. Berikut hidungnya, matanya, bahkan postur tubuhnya yang  andai aku merapat dalam gandengannya, aku hanya sebatas pundaknya.  Pintu lift terbuka dan aku melangkah masuk dengan harapan dia mengekoriku.  Aku kecewa,  langkahnya tertahan.

Tak hanya  di depan lift itu, ternyata masih banyak pertemuan yang membuat kami bisa bertukar senyum.  Kata menemukan telah berganti menjadi pertemuan karena dia pun menyadari kehadiranku di titik temu yang belum bisa juga menyatukan kami. Ya, aku ingin kami bersatu. Berharap setelahnya ada saling jabat tangan dan bertukar nama, bertukar nomor HP, lalu …. Ahhh,  aku mengelus dada, sekadar merapikan harapan-harapan yang kutakutkan akan mengecewakan.

Aku sangat berharap dia yang agresif minta kenalan, minta nomor HP, lalu menelponku. Bukankah lelaki iseng suka menelpon? Jika dia lelaki baik-baik, dia pasti punya cara untuk mengenalku lebih dekat, bukan dengan menelpon. Dan aku trauma dengan lelaki baik-baik.   Aku  sadar, aku tak pernah ditakdirkan untuk mendapatkan lelaki baik-baik. Ya, harusnya saat pertama kali kudapatkan sosoknya di depan lift, aku bukan hanya berharap dia masih bujangan, tapi juga  berharap dia bukanlah lelaki baik-baik.

Lagi-lagi aku mengelus dada. Sekadar merapikan kegalauan yang  sepertinya akan menyesakkan bila kubiarkan. Aku sudah capai menangis dan hanya punya dua tangan untuk menyeka tangisku. Tidak seperti dulu ketika masih berada dalam lingkaran dakwah, begitu banyak tangan yang siap mendekapku erat saat harus berurai tangis.

Riza yang pertama mengenalkanku dengan lingkaran dakwah. Duduk bermajelis sekali sepekan. Hal yang membuatku betah bahkan ketagihan dengan lingkaran itu  karena ada sesi curhat di akhir majelis.

“Kak Razzan  berniat memperistrikanmu,”

Sehari setelah kalimat itu diperdengarkan Riza, murabbiyah-ku  menyodorkan amplop berisi biodata dan foto Razzan. Aku seperti balon gas yang melayang, bukan karena Razzan adalah lelaki  dengan kriteria sempurna tapi karena aku bisa menemukan jodohku tidak dengan mengejarnya.

Menemukan jodohku? Dulu pikirku seperti itu,  ternyata  keliru.  Sesi terakhir dari ta’aruf kami, Razzan tiba-tiba mundur.  Menurut Riza adiknya, orang tuanya tidak ingin Razzan menikah sebelum kuliah magisternya selesai.  

Setelah Razzan, ada Ashri, lalu Irfan, kemudian Fitrah. Semua gagal dengan berbagai kendala. Aku  berusaha tegar.  Meski kemudian aku harus terempas ketika sadar bahwa lelaki baik-baik hanya untuk perempuan baik-baik.  Aku bukan perempuan baik-baik hingga Allah selalu menghadirkan masalah agar  tak berjodoh dengan Razzan,  dan semua lelaki baik-baik yang pernah   mengajukan proposal nikahnya.

Masa lalu bukan jejak langkah yang bisa terhapus hanya karena gerimis atau tertutup debu. Ia adalah bayang-bayang. Entah aku telah goyah atau karena atas nama masa lalu yang selalu membayang, aku memilih keluar dari lingkaran dakwah. Hanya keluar. Di  tubuhku  masih melekat hijab, tapi  di hatiku? Sepertinya tidak, karena begitu beraninya aku mencuri lirik, menaruh harap,  bahkan membiarkan Tafhan membangun singgasana di pikiranku.

Nama lelaki  itu adalah Tafhan. Satu hal yang  membuatku menangis setelah mengetahui namanya adalah bahwa dia adalah lelaki baik-baik. Aku trauma dengan lelaki baik-baik, semakin  ingin memilikinya semakin Allah menyadarkanku bahwa aku tak pantas  mendapatkan lelaki baik-baik karena masa laluku.

****

“Assalamu’alaikum ….”

Aku  berpura-pura mencari berkas di laci meja, padahal semua telah kusiapkan sebelum dia masuk ruanganku. Pekan lalu dia memasukkan proposal permohonan bantuan  untuk  kegiatan  organisasinya di luar. Sebagai kepala CSR (Corporate Social Responsibility)  perusahaan, aku tak   ragu jika uang yang diserahkan untuknya akan disalahgunakan.

Tafhan yang berkantor di lantai sepuluh  lebih dikenal sebagai pengurus musala gedung   lantai empat. Aku bahkan baru mengetahui setelah suatu ashar aku menyempatkan ke musala.  Tafhan naik ke mimbar dan memberi kultum. Pengakuannya, kultum itu adalah kultum terakhirnya  karena memilih resign di perusahaannya.

Kita telah dipersaudarakan dan saling mencintai karena Allah.  Jika kita saling mencintai karena Allah,  perpisahan itu tak akan pernah ada. Selama kita menyembah Allah yang sama, selama itu pula kita saling mencintai. Jarak tak bisa memisah cinta yang didasari Allah.  Letak geografis tak bisa menyekat cinta yang didasari cinta pada Allah….

Aku berdiri dan memilih meninggalkan musala  begitu kultum selesai.

“Assalamu’alaikum, Bu Arini…”

“I….iya… waalaikummussalam,”

Tanpa sadar aku telah meninggalkan Tafhan sendiri di depanku. Tanpa sadar aku telah membiarkan dia menyaksikan air mataku yang berurai.

“Bu Arini menangis karena saya mau  pindah?”

Aku menggeleng. Dan aku yakin bahwa aku tak berbohong.  Aku menangis karena mendapatinya sebagai seorang aktivis dakwah.

“Dananya insyaallah akan kami cairkan pekan depan, Ustadz.”

“Ustadz?”

Keningnya  berkerut, mungkin berharap aku mengganti kata sapaanku karena selama ini aku memanggilnya Pak Tafhan.

“Ada lagi yang ingin ditanyakan, Ustadz?”

Dia menggeleng. Mengangkat tatapannya beberapa senti untuk mendapatkan tatapanku lalu menunduk.

“Harusnya ukhti yakin bahwa ada taubat yang mampu menimbun masa lalu.”

Ukhti?Dia memanggilku ukhti? Bagaimana bisa dia tahu panggilan masa laluku itu?

Afwan, ada salam dari kakak saya. Razzan!”

 Dia meneruskan langkah. Meninggalkanku yang masih mengeja nama Razzan bersamaan kerinduan duduk melingkar  dan bermajelis.

***

*Penulis dengan 40 penghargaan kepenulisan tingkat nasional. Menulis 42 buku, di antaranya Cupiderman 4G, Sayat-Sayat Sunyi, Lontara Rindu.

1 thought on “Rindu Melingkar

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*