gegge 15 Oktober 2020

Umar bin Khatab pernah bernasihat, ajarkanlah sastra pada anak-anakmu agar   jiwa pengecutnya menjadi pemberani.  Sastra yang sangat identik dengan tulisan telah banyak memberi bukti, bagaimana seseorang bisa meluapkan amarahnya lewat tulisan.

 Pun, begitu banyak pembaca yang hatinya luluh-lantak setelah membaca tulisan sastra.  Hati luluh lantak, menangis dalam diam atau bahkan hingga terisak karena bacaan, janganlah langsung divonis sebagai sebuah kecengengan. Itu hanyalah reaksi awal dari membaca.

Reaksi berikutnya yang akan muncul adalah keberanian untuk memperbaiki diri agar tak  tersesat seperti tokoh dalam cerita yang telah membuatnya menangis.

Di suatu kesempatan yang sangat menguntungkan dan mengesankan,  penulis dipertemukan dan berbincang dengan sastrawan nasional Taufik Ismail.

Sastrawan Angkatan 66 yang  telah berkali-kali mendapat penghargaan  ini, berkisah tentang  kebaikan hati para penjajah Belanda yang selama ini  dikenang sebagai penjajah yang hanya meninggalkan kesengsaraan untuk negeri ini.

Menurutnya,  semua siswa AMS (Algemeene Middelbare School), Sekolah Menengah Atas zaman kolonial Belanda di Indonesia, diwajibkan untuk membaca 25 judul buku  dan menulis 108 judul karangan dalam setahun. Mungkin akan banyak yang terbelalak membaca fakta ini, tapi dipastikan akan lebih banyak yang berdecak kagum jika mengetahui fakta bahwa AMS yang program wajib membaca dan menulisnya itu sangat ketat ternyata melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang legendaris seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ir. Syahrir, Kahar Muzakkar, dll.

Setelah terbelalak dan berdecak kagum dengan fakta tersebut, kita juga harus gigit jari setelah mengetahui fakta berikutnya. Setelah Indonesia merdeka, beberapa  tokoh nasional berkumpul untuk membahas dan memperbincangkan, akan dibawa ke mana Indonesia ke depan.

Hasil pembicaraan yang paling getir adalah program menulis  dan membaca di AMS dihapus karena dianggap program yang sia-sia. Pelajaran yang dianggap penting seperti Kimia, Biologi, Fisika, dan Matematika diberi porsi yang berlebih. Endingnya? Keahlian menulis kemudian dianggap sebagai hal yang sangat langka.

Bahkan di dunia kampus, jual beli skripsi, tesis, hingga desertasi adalah hal yang lumrah dan bukan indikator kesuksesan seorang mahasiswa. Alasannya? Konon, masalah skripsi, tesis, dan desertasi itu hanyalah satu mata kuliah yaitu Tugas Akhir, tak ada hubungannya dengan keahlian profesinya kelak, meskipun dia mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia.

****

Menghilangnya program menulis dan membaca ala AMS di sekolah-sekolah, tanpa pernah ada yang merasa kehilangan, adalah bukti bahwa masih minimnya pemahaman sebagian orang tentang pentingnya menulis. Menghilangkan tradisi menulis sama halnya berusaha menghilangkan sejarah karena zaman prasejarah atau nirleka berakhir setelah orang mengenal tulisan.

Karena tulisan, orang memburu dan mencari prasasti, demi mencatat sejarah yang pernah ada pada zamannya. Dengan tulisan orang muncul di permukaan sebagai orang berprestasi bahkan sebagai cendikia.  Karena tulisan lahirlah karya-karya sastra yang bukan hanya bisa membuat orang menangis dan tertawa tapi juga membentuk karakter pembacanya.

Masih menurut Taufiq Ismail yang pernah menulis Vernite Mne Indoneziyu (Kembalikan Indonesia Padaku) dan diterjemahkan oleh Victor Pogadev, Moskow, bahwa Rusia yang sastrawannya pernah menerima nobel sastra, ternyata tidak mengajarkan aturan berbahasa dalam kelas meski ada ratusan aturan berbahasa Rusia.

Di kelas siswa hanya diwajibkan menulis, membaca, dan membedah buku yang telah dibacanya. Hebatnya, kewajiban itu bukan untuk mengejar nobel. Pemerintah Rusia yakin bahwa dengan membaca para siswa akan banyak mendapat nilai berupa karakter.

Bukan nilai berupa angka. Karenanya sekolah menentapkan  berbagai buku wajib di sekolah yang isinya benar-benar bisa memperkuat karakter siswa. Nilai adalah tujuan, nobel atau prestasi apapun hanyalah efek samping.

Melihat fenomena siswa  yang banyak rabun menulis, harusnya kategori buta huruf  yang selama ini disandangkan kepada orang yang tak bisa membaca dan menulis, harusnya lebih ditingkatkan level definisinya, menjadi orang yang tak memiliki keahlianmembaca atau keterampilan menulis.

Ini penting agar ada revolusi mental demi menyelamatkan generasi. Jika tidak, lubang buaya menunggu generasi kita di depan.  Mereka akan tenggelam oleh peradaban. Tanpa keterampilan menulis memang bukan sebuah keterbelakangan mental tapi tetaplah butuh terapi.

Terapi yang tepat adalah pembiasaan menulis. Dan satu-satunya jalan untuk memudahkan terapi itu adalah dengan menjadikan menulis sebagai revolusi mental. Ya, mind set harus berubah, harus direvolusi. 

Jika menghilangnya program membaca dan menulis  di sekolah-sekolah dimetaforakan sebagai bom sekutu yang meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki, berarti kita bukan hanya  kehilangan tradisi menulis dan membaca tapi juga kehilangan generasi.

BACA JUGA : Tiga Fakta Menarik Dibalik Kedekatan Emosional Antara Orang Tua dan Anak

Apalagi di era digital seperti sekarang, pikiran generasi kita dikerdilkan dengan tontonan, game, hingga akun media sosial yang tak bisa dikendalikannya. Bagaimana mungkin buku akan menjadi candu jika layar  gadget selebar buku juga tak bisa lepas dari tangannya.

Satu-satunya cara untuk memalingkan perhatian generasi kita dari gadget-nya adalah dengan mengenalkannya dengan buku. Bacalah dan menulislah! Adalah kalimat perintah yang harus kita perdengarkan untuknya meski awalnya harus bernada memohon.

Memohon? Apa tidak terlalu hiperbolik? Sungguh tidak!  Siswa harus dibuka lebar-lebar wawasannya tentang menulis. Bahwa menulis bukan hanya bagian dari aspek pembelajaran Bahasa Indonesia.

Lebih dari itu. Dalam ilmu psikologi, menulis adalah salah satu terapi untuk melepaskan kepenatan, yang fungsinya bisa sama dengan rekreasi. Dalam hal ini, menulis seperti  teriakan bebas di alam terbuka bagi orang-orang stres.

Menulis juga adalah mata pencaharian. Penulis adalah profesi meskipun di form dan aplikasi mana pun, termasuk di KTP, tak ada pilihan PENULIS untuk dicentang sebagai jenis pekerjaan.  

Padahal fakta memaparkan jika salah satu orang terkaya dunia, yakni di urutan ke-552, adalah JK Rowling, penulis buku Harry Potter yang fenomenal itu. Fakta yang memiriskan adalah bahwa hampir semua siswa di negeri ini belum mengetahui jika menulis bisa menghasilkan uang apalagi mengetahui jenis pembayaran   tulisan berupa honor, royalti, ataupun beli putus.

Siswa rabun bahkan buta soal ini, padahal uang  bisa menjadi motivasi untuk berkarya. Belum lagi, jika berbicara tentang prestasi hingga selebritas, seorang penulis buku best seller akan dikenang sebagai orang berprestasi, bisa menjadi  terkenal, hingga menjadi jutawan. 

Jika kita flash back untuk mencari penyebab kurangnya keterampilan menulis pada sebagian siswa juga guru,  tentu sebagian orang akan menyalahkan  masa lalu, terutama tentang program membaca dan menulis di AMS yang hilang.

Tapi  mencari dan menemukan solusi  jauh lebih penting  daripada mencari penyebab. Tradisi menulis harus dibudayakan. Jika menulis menjadi budaya maka membaca akan ikut menjadi  kebutuhan.  

Kembali ke program membaca dan menulis AMS yang hilang.  Siapakah yang bertanggung jawab dengan hilangnya program menulis dan membaca yang pernah ada di sekolah zaman Belanda? Tentu saja untuk mencari pelakunya hanya akan membuat kita saling tunjuk, saling menyalahkan.

Padahal hal urgen yang harus dilakukan adalah mencari siapa yang bertanggung jawab untuk mengembalikan tradisi membaca dan menulis serupa yang pernah ada lalu menghilang.  

Apakah harus saling tunjuk lagi? Tidak! Itu jika semua merasa bahwa itu adalah tanggung jawab bersama. Jika telah menganggap ini sebagai tanggung jawab bersama, maka beban terberat sebenarnya ada di pundak guru.

Ketika Hiroshima dan Nagasaki hancur dibom oleh pasukan sekutu pada tahun 1945, pertanyaan pertama Kaisar Hirohito yang menjadi pemimpin tertinggi Jepang saat itu adalah berapa   guru yang  selamat dari pengeboman.

Jika generasi masa kini dianggap  kurang dari segi kualitas, baik itu kualitas karakter maupun keilmuan, maka salah satu misi guru yang harus dijalankan adalah misi motivasi membaca dan menulis untuk siswa. Peran guru dalam membiasakan siswa menulis bukan hanya sebagai pendidik tetapi juga sebagai motivator.

Jika tak bisa memotivasi menulis karena sang guru bukanlah penulis dan memang tak bisa menulis, paling tidak memotivasi siswa untuk terbiasa membaca.

Sungguh sangat menginspirasi seandainya guru menyempatkan waktu untuk bercerita di depan kelas tentang buku yang telah dibacanya. Jika ini terjadi, siswa akan terinspirasi untuk membaca dan tidak hanya berpuas diri hanya dengan membaca buku paket pelajaran.

Guru harus membuka keran   pemikiran siswa bahwa ada buku sastra, buku motivasi, dan banyak lagi jenis buku lain yang  bisa menambah wawasan bagi siswa yang gemar membaca.

Jika siswa telah terpancing untuk terus membaca, tak butuh waktu lama, mereka juga akan mencari waktu untuk menulis. Membaca dan menulis adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Jika dia adalah variabel yang harus memiliki rumus maka rumus yang tepat adalah M-M = 0 (menulis tanpa membaca sama dengan nol).

Semakin banyak referensi bacaan, semakin dahsyat isi tulisan yang dihasilkan. Semakin banyak buku yang telah dibaca, semakin tinggi motivasi untuk menulis hal serupa dengan bacaan yang telah menginspirasinya.

Seandainya menulis  telah menjadi budaya di negeri ini, bisa dipastikan kualitas generasi akan semakin intelek. Paling tidak, efek paling dahsyat yang muncul jika generasi kita adalah generasi melek menulis adalah akan muncul kembali media-media remaja yang bisa membangun karakternya. Karena penulis mencatat, beberapa media remaja yang dulu pernah eksis di negeri ini, akhirnya harus gulung tikar.

Sebut saja, Majalah Aneka Yess yang pernah laris hingga ke pelosok, sekarang gulung tikar. Begitu juga dengan media remaja yang lain seperti Tabloid Keren Beken, Majalah Annida, Majalah Muslimah, Majalah Anita Cemerlang, Majalah Story, Majalah Cinta, dll, dan sekali lagi, dan lain-lain yang penulis maksud lagi-lagi adalah media remaja.

Mengapa harus media remaja? Ke mana remaja kita? Mereka berdiri santai  di  pinggir kehancuran yang jauh lebih sadis dibandingkan dengan lubang buaya yang pernah menelan sepuluh pahlawan revolusi. Mereka terlena dengan dunia yang bisa dipelototinya lewat jendela informasi bernama gadget.

Tak ada pahlawan yang kesiangan. Negeri ini butuh pahlawan revolusi mental yang siap untuk menyelamatkan generasi, dan gurulah yang paling pantas untuk menyandang gelar pahlawan revolusi mental itu. Mari mengulurkan tangan untuk anak-anak kita, memotivasi mereka untuk menulis.

Guru sebagai pahlawan revolusi mental tak harus menunggu untuk diculik, cukup hanya dengan mencuri waktu beberapa menit di sela-sela pembelajaran untuk mengingatkan kepada siswa pentingnya menulis. Mental siswa harus direvolusi, tentu saja setelah guru mengubah mind set-nya tentang pentingnya menulis.

****

*Oleh: S. Gegge Mappangewa

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*