
Timur Tengah, Celebesupdate.com- Tahun 2017, suhu politik negara-negara Arab yang dikeliling gurun panas di Timur Tengah benar-benar membara. Negara-negara yang dibesut para kabilah Arab itu saling siku sampai putus hubungan. Adalah Qatar, negara kecil Arab yang terletak di tepi gurun, semenanjung berbatasan laut Persia dikucilkan rekan-rekannya sesama Arab.
Negara kerajaan itu dituding menerapkan kebijakan politik melebihi ukurannya yang kecil sehingga berpengaruh terjadap kehidupan politik di kawasan. Di antaranya, dituding mendukung gerakan-gerakan ekstrimisme, radikalisme dan terorisme.
Doha seringkali menunjukkan kebijakan politik yang berseberangan dengan sesama Arabnya. Seperti dukungannya terhadap gerakan Islam politik Hamas di Palestina, Ikhwanul Muslimin di Mesir, Suriah, Libya dan Yaman.
Qatar juga memberikan tempat bagi ulama-ulama yang dimusuhi beberapa negara Arab. Di antaranya, ulama kharismatik yang pernah terlibat dalam gerakan Ikwanul Muslimin di Mesir, Syekh Yusuf Al Qardhawi.
Yusuf Al Qardhawi diburu rezim berkuasa di Mesir, dan terpaksa meninggalkan negaranya itu menuju Qatar. Dan di sana, ia justru mendapat tempat sebagai tamu kehormatan keluarga Emir Qatar.
Yusuf kemudian membantu negara itu mengembangkan pendidikan Islam modern selama proses reformasi politik yang dilakukan Emir Qatar Shikh Hamad dan putranya Sheikh Tamim bin Hamad al Thani. Sampai kini, Yusuf Al Qardhawi dihormati sebagai ulama pembaharu di sana.
Terakhir, kemarahan Arab dan negara se-rumpunya terkait kebebasan media bebasis di Qatar. Khususnya media Aljazeera yang kerap mengkritik sistem politik, kekuasaan dan berbagai kebijakan negara-negara Arab di Timur Tengah.
Sistem pemerintahan, kebijakan politik dan ekonomi yang moderat dikembangkan Qatar tampak mengganggu pemerintahan monarki Arab. Qatar membuka hubungan politik dan ekonomi dengan seluruh negara di kawasan tanpa harus permisi ke negara se-rumpunnya.
Hubungan itu termasuk dengan Iran dan Turki. Dua negara berpengaruh kuat yang beririsan dengan kekuatan Arab di kawasan. Turki di bawah pemerintahan Recep Tayyib Erdogan dianggap ancaman karena mengekspor sistem politik modern, terbuka dan demokratis serta penyokong gerakan Ikhwanul Muslimin di kawasan.
Sokongan itu dilakukan Turki secara terbuka saat pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir dikudeta Abdul Fattah as-Sisi, pemimpin rezim militer yang berkuasa sekarang. Turki bahkan memutus bubungan diplomatik dengan rezim tersebut dan sampai kini tak kunjung normal.
Selain pada Qatar, pengaruh Turki itu sekarang tampak pada konflik internal di Libya dan Suriah. Erdogan sukses menciptakan keseimbangan dalam konflik di negara tersebut. Ia jadi populer di kalangan gerakan politik Islam seperti Hamas di Palestina dan sejumlah negara muslim lainnya.
Sementara Iran dinilai berupaya menciptakan pengaruh ke kawasan dengan politik Islam Syiah-nya. Itu terjadi di Lebanon dengan hadirnya gerakan politik bersenjata, Hezbollah. Jihad Islam di Palestina, milisi Syiah di Suriah, Irak, Yaman, Bahrain, dan pada minoritas Syiah di Arab Saudi sendiri.
Monarki Arab Saudi dan serumpunnya di tanah Arab tampak merasa terganggu dari sisi kekuasaan. Muncul gerakan-gerakan politik modern dan demokratis yang dipelopori Ikhwanul Muslimin sewaktu-waktu bisa mengancam eksistensi kerajaan.
Alhasil, dalam beberapa tahun terakhir, monarki Arab Saudi bergeliat dengan berusaha menciptakan iklim bernegara yang sedikit terbuka. Di antaranya mereka berusaha membuka kran kebebasan dalam kehidupan sosial, membuka pembatasan terhadap perempuan, dan lain-lain.
Tapi, di waktu bersamaan Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman Al Saud melakukan penangkapan secara massif terhadap ulama-ulama yang dianggap berafiliasi dengan gerakan politik Ikhwan. Bahkan lebih luas, termasuk pada mereka yang dianggap kritis terhadap kerajaan. Sebuah anomali tentunya.
Untuk mencapai tujuan politiknya di kawasan, Arab Saudi berusaha mengucilkan Qatar. Mereka menutup ruang udara dan perbatasan darat agar tak dilewati negara itu. Mereka juga memutus hubungan dalam segala bidang, termasuk ekonomi. Keputusan ini diikuti sekutu Saudi, di antaranya Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir.
Mereka pada awalnya berusaha menekan Qatar dengan blokade dengan menawarkan sejumlah permintaan yang yang mencakup masalah dukungan terhadap gerakan ikhwan, penutupan Aljazeera, dan lain-lain.
Sayangnya, seluruh tawaran negara tetangganya itu ditolak Emir Qatar. Meski negara kecil, Qatar tak ingin urusan politiknya dicampuri, diintervensi dan didikte negara Arab lainnya. Meski warga negaranya banyak tergantung pada produk-produk yang datang dari Arab, Qatar berusaha melepaskan diri dengan mengimpor produk untuk kebutuhan ekonomi yang lebih besar dari Iran dan Turki.
Untuk meningkatkan nilai tawarnya di kawasan, Qatar yang dikenal kaya karena hasil eksplorasi minyak juga memperkuat militernya dengan teknologi canggih dari barat. Emir Qatar juga menjalin kerjasama bidang militer dengan Turki. Mengizinkan negara bekas Kekhalifahan Usmani itu membangun pangkalan militer di negaranya dan sekaligus melatih personil militer Qatar.