
Oleh : Abdul Chalid, Dosen Ilmu Politik UTS Makassar
Di atas kursi kayu, tepat disisinya sebuah kayu dengan nuansa klasik, Anies Baswedan duduk bersandar. Di latarnya terdapat sebuah rak yang diisi buku tertata rapi. Dan, sebuah meja kayu yang di atasnya foto-foto keluarganya yang terbingkai.
Anies sepertinya menyukai furniture berbahan kayu yang klasik. Furniture kayu yang hanya dibaluri plitur agar warna dan corak kayunya tetap tampak.
Anies dalam suasana santai, mengenakan kemeja dan sarungan. Ia membaca buku. Melihat sepintas poto Anies yang disebar teman di media sosial itu, saya tak memiliki kesan apapun. Di kepala saya, gubernur DKI itu tengah santai baca buku.
Belakangan ramai. Saya pun baru menyadari, poto sosok yang tengah jadi media darling akhir-akhir ini memiliki pesan politik yang kuat. Pesan itu bukan pada suasana santai atau latar tempat mantan rektor Paramadina itu tengah baca buku.
Dalam komunikasi politik, pesan bertransformasi melalui media apapun. Verba dan non verba. Foto adalah verba. Pesannya adalah buku berjudul, “How Democracies Die”. Saya selalu teringat kata-kata teman-teman Fotografi, “Satu poto berbicara lebih dari 5 ribu kata-kata”.
Poto ketika diumbar ke publik maka jadi milik publik. Berarti, tiap individu di ruang publik bebas menafsirkan pesan yang disampaikan. Poto Anies juga begitu. Saya menafsirkannya sebagai bentuk komunikasi politik.
Anies berusaha menyampaikan pandangan dan kegelisahannya terkait kehidupan sipil dan politik di Indonesia. Ia menyampaikan perspektifnya dari posisinya sebagai gubernur yang seakan tak diinginkan oleh para politisi di sekitar kekuasaan pemerintah pusat.
Karena tak diinginkan, Anies mungkin merasakan betul, tiap langkahnya diawasi. Pijakannya ditunggu-tunggu ke luar dari jalur, meski sedikit. Seperti dalam kasus yang tengah dihadapinya itu.
Anies memang tak mengeluarkan satu kata. Tapi, How Democraces Die, menjadi potret kegelisahannya atas kehidupan bernegara.
How Democracies Die ditulis oleh profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Keduanya profesor untuk ilmu pemerintahan.
Daniel dan Steven mengutarakan sebab-sebab hancurnya demokrasi. Mereka sesungguhnya tengah memotret kehidupan berdemokrasi di Amerika yang mengalami degradasi.
Tapi dengan mempelajari proses-proses politik di berbagai negara demokrasi lainnya, yang akhirnya berubah menjadi negara otoriter.
Satu di antaranya penyebab kematian demokrasi di era perang dingin adalah kudeta yang dilakukan para jenderal militer.
Tapi akhir dan pasca perang dingin, kudeta bukan satu-satunya musabab kematian demokrasi, kata keduanya. Strategi politik berubah dan justru mengarah pada pemanfaatan lembaga-lembaga demokratis itu sendiri.
Termasuk dengan memanfaatkan kekuasan presiden hasil pemilihan langsung, perangkat hukum negara, dan lain sebagainya.
Secara umum, Daniel dan Steven menyebut empat indikator penyalagunaan elemen demokrasi dalam mematikan demokrasi, yaitu ; Penolakan atau atau komitmen yang lemah terhadap aturan main yang demokratis; Penolakan legitimasi lawan politik; Toleransi atau dorongan kekerasan; Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.
Di luar dari Amerika, praktik-praktik politik sebagaimana dalam “How Democracie Die” telah banyak berlangsung. Terutama di negara-negara Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara misalnya, praktik semacam ini bisa dilihat di negara seperti Kamboja.
Tahun 2017, saya berkesempatan mengunjungi langsung negara ini. Sumber-sumber di sana, termasuk kalangan LSM memaparkan bagaimana kondisi kehidupan politik di negara yang pernah dikuasai rezim Khmer Merah itu.
Di negara yang menyandingkan parlementer dan kerajaan itu, popularitas lawan politik direduksi melalui alat-alat negara dan aparat hukum. Tak heran, perdana menteri-nya berkuasa lama, melampaui lamanya Orde Baru berkuasa di Indonesia.
Secara prosedural, pemilihan wakil-wakil rakyat dan perdana menteri negara itu berlangsung demokratis. Multi partai dan pemilihan langsung. Tapi dengan memanfaatkan kekuasaan dan alat negara, sistem politik benar-benar dikuasai satu tangan.
Oposisi dan partai politiknya ditekan melalui tuduhan subversi, dituduh korupsi, dan sebagainya. Sementara media independen ditekan dengan alasan mengganggu kepentingan dan kedaulatan negara.
Lalu bagaimana di Indonesia? Adakah gejalanya sama dalam, How Democracies Die? (*)