
Sinrilik, sastra lisan budaya masyarakat Makassar yang diwariskan turun temurun. Sampai kini masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat di daerah bekas Kerajaan Islam Makassar yang meliputi beberapa wilayah bertutur bahasa Makassar di Indonesia.
Namun, hanya terhitung jari saja yang masih mempertahankannya. Tak sama dulu, ketika Sinrili menjadi hiburan utama pada semua momentum sosial. Sekarang, pada berbagai pementasan atau momen atau kegiatan penting seperti pengantinan, pesta panen, seremonial instansi pemerintah, dan lain-lain, sinrilik sulit ditemukan dalam deretan daftar acara.
Seiring perkembangan zaman, sinrilik mulai tidak dikenal di kalangan masyarakat Makassar modern. Apalagi di kalangan milenial. Kebudayaan ini ter-alienasi ke pinggiran, dan mengendap jadi milik beberapa orang yang masih peduli. Padahal, di masa lalu, baik pada masa kejayaan kerajaan Makassar, maupun di masa kemerdekaan, sastra bertutur ini menjadi hiburan masyarakat yang digandrungi di pentas budaya. Selain sarat dengan tawa, sinrilik juga disenangi karena cerita yang dituturkan penuh dengan heroisme, serta pesan-pesan moril.

Di bekas kerajaan Makassar. Satu, dua passinrilik dapat ditemukan di daerah Kabupaten Gowa. Salah satu yang dikenal yaitu Syarifuddin Daeng Tutu. Sosok berusia 60 tahun ini telah mendedikasikan sebagian besar masa hidupnya untuk sinrilik. Bahkan sampai kini, saat budaya modern telah merasuki kehidupan masyarakat Makassar. Ia kukuh mempertahankan sinrilik pada pada berbagai pentas budaya. Tak hanya itu, ia juga berusaha menularkannnya ke generasi sekarang.
Daeng tutu mengenal kegiatan sastra ini sejak kecil. Minatnya terhadap sinrilik muncul begitu saja saat tradisi ini masih menjadi bagian kuat dari tradisi masyarakat makassar.
“Saya kurang ingat lagi sebenarnya. Sejak kapan saya mulai tertarik dengan sinrilik. Dari kecil, tahun 60-an, saya hidup dan suka bergaul dengan pengembala kerbau. Meski orang tua saya tidak punya kerbau. Mengisi waktu gembala, mereka biasa main sinrilik. Dan, masa itu juga masyarakat petani sering menggelar hajatan pesta panen dimana sinrilik ikut dipentaskan. Di situ saya mulai memperhatikan permainan seni ini. Akhirnya, saat besar, saya tertarik memainkan alat musik tersebut”, terang lelaki kelahiran Gowa, tahun 1955 tersebut.
Minatnya Daeng Tutu didukung oleh keluarganya yang notabene berasal dari kalangan terdidik. Termasuk ayahnya yang seorang pegawai negeri dengan jabatan sebagai panitera kepala pertama di Kabupaten Gowa. Apalagi ibunya yang juga dikenal sebagai Anrong Bunting yang banyak dipercaya masyarakat di daerahnya saat itu. Profesi yang terkai acara perkawinan itu sedikit banyak juga terkait dengan seni dan tradisi.
Daeng Tutu termasuk pula terpelajar karena sekolah di teknik menengah, Jurusan Listrik. Level pendidikan yang cukup prestisius di masanya. Sebab itu, pilihannya dalam berkesenian sinrilik adalah langkah yang sepenuhnya ia sadari.
Sinrilik Sebagai Sastra Lisan
Sebagai kegiatan berkesenian, sinrilik dikategorikan sebagai karya sastra lisan, atau dapat pula disebut sebagai prosa. Di kalangan masyarakat Makassar, tak cukup catatan yang memuat tentang kebudayaan ini. Pengamat atau penggiat budaya dan musik dari Universitas Negeri Makassar , Arifin Manggau, menerangkan bahwa sinriliki sesungguhnya dipengaruhi kuat kebudayaan Timur tengah. Pengaruh kuat itu dapat dilihat dari alat musik yang digunakan, kesok-kesok atau umum dikenal dengan istilah rebab.
“Sinrilik itu adalah jenis musik chord de folk. Sumber bunyinya berasal dari dawai yang dibentangkan atau senar. Tidak ada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menerangkan tradisi sinrilik secara lokal. Oleh karena itu, saya lebih melihatnya sebagai pengaruh tradisi luar. Secara teori organologi, konstruksi alat musik secara etmusikologi sangat mendekati kebudayaan Arab atau Timur Tengah umumnya. Idiomnya bersamaan dengan gambus, rebana, rebab, dan lain-lain yang ikut hadir ketika penyiaran Islam secara formal masuk ke Sulsel. Atau, sebelumnya, ketika bangsa-bangsa Arab melakukan perdagangan ke bandar Makassar”, terang dosen yang dikenal pula sebagai seniman tersebut.
Arifin menerangkan lebih lanjut, sinrilik dilagukan dengan dan tanpa musik kesok-kesok. Pada masyarakat Makassar dua cara penyajian sinrilik tersebut dibedakan dengan istilah Sinrilik Pakesok-kesok dan Sinrilik Bosi Timurung. Pada pentas budaya masyarakat yang lama. Ke duanya sering ditampilkan.
Sinrilik Pakesok-kesok dilagukan dengan iringan alat musik kesok-kesok. Kesok-kesok atau dikenal pula dengan istilah rebab, berbentuk sederhana. Bahannya terbuat dari kayu dengan menggunakan dua senar. Hampir mirip dengan biola. Juga sama-sama digesek. Sementara irama musik kesok-kesok disesuaikan dengan lantunan syair yang mengalir dari passinrilik. Kemudian, menurut Arifin isi cerita biasanya lebih banyak menuturkan sejarah perjuangan, dan kepahlawan.
“Di dalam syair-syairnya, sastra yang dituturkan itu banyak bercerita patriotisme. Di Makassar tentu saja, syairnya banyak bercerita sejarah, tapi fokus pada sosok. Menyanjung heorisme sosok pemimpin dalam perang melawan VOC dan Belanda di masanya. Seperti Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesong, I Makde Daeng Ri Makka, dan lainnya”,jelasnya.
Di Sulawesi Selatan atau di makassar khususnya, terdapat beberapa naskah sinrilik pakesok-kesok yang dikenal. Antara lain, Sinrilik Kappala’ Tallumbatua, Sinrilik I Makdik Daeng ri Makka. Sinrilik I Manakku’ Caddi-caddi dan lain sebagainya. Dari cerita-cerita tersebut, Kappalaktallumbatua termasuk syair kontroversial.
Kappalak Tallumbatua bercerita tentang munculnya ramalan tentang perang Makassar. Menurut Arifin lagi, cerita ini banyak mengandung mitos dan dinilai sarat dengan politik masa lalu. Khususnya pada Perang Makassar. “Menceritakan 3 kapal yang menghancurkan kerajaan Makassar. Sebenarnya dalam sejarah banyak kapal pihak VOC yang menyerang Makassar. Hanya dalam cerita itu disebut 3 kapal. Mungkin karena dahulu kabut masih bersentuhan dengan bumi sehingga kapal-kapal lain tidak terlihat dari jauh”,urainya .
Masyarakat Makassar juga mengenal Sinrilik Bosi Timurung. Seni folk yang dituturkan tanpa iringan kesok-kesok. Dilagukan mengikuti suasana hati. Biasanyanya isi dari sinrilik bosi timurung berupa curahan hati. Baik ketika tengah jatuh cinta, atau tengah bersedih. Syair-syairnya sangat mendayu-dayu serta penuh penghayatan.
Sinrilik ini sering juga berisi pesan-pesan agama. beberapa syair Sinrilik Bosi Timurung yang biasa disenandungkan sekarang yaitu Kitta’na Tulkimak, Kitta’na Bodolo’ Akherat, Kitta’na Jayalangkara dan lain sebagainya. “Pada dasarnya sinrilik merupakan kesenian dan sastra yang dikemas dalam bentuk sederhana. Selain berisi cerita atau pelajaran hidup, sinrilik berisi pula pesan-pesan moril”, tukas Arifin menambahkan penjelasannya.
Seperti sebuah karya sastra umumnya yang butuh selera seni dan penjiwaan. Begitu pula sinrilik. Daeng tutu yang melakoni rutinitas sebagai passinrilik selama berpuluh tahun memiliki sudut pandang sendiri tentang sastra yang lahir dari rahim masyarakat ini. Lalu sebagai seorang passinrilik, apa yang memikatnya hingga bertahan di tengah serbuan seni kontemporer nan modern?
Kesok-Kesok, Pelengkap Sinrilik
Kesok-kesok, alat musik sederhana menyerupai biola ini adalah pelengkap sinrilik. Alat musik sederhana ini terdiri dari dua senar. Agar dapat menghasilkan bunyi khas, bagian bodi depan kesok-kesok ditutup dengan kulit kambing. Dan, untuk memainkan kesok-kesok dibutuhkan sebuah alat kesok, talinya tersusun dari bulu ekor kuda.
“Kesenian ini unik. Kita bertutur sambil memainkan alat musik. Juga sarat dengan pendidikan moral. Di samping itu, kesenian ini tidak terikat pada waktu dan tempat tertentu. Seperti dahulu, kesenian ini adalah bagian dari kehidupan sehari-hari orang Makassar. Kapan dan di mana saja bisa dimainkan. Apakah di atas panggung atau di pematang sawah sekalipun saat gembala kerbau”, tutur Daeng Tutu mengungkap alasan, kenapa ia akhirnya memilih kesenian sinrilik.
Kemudian alasan lainnya, soal eksistensi seni ini di pentas budaya masyarakat. “Minat saya kian besar ketika melihat seni ini tak lagi populer. Saya seperti tak rela bila kesenian yang sempat saya rasakan kehadirannya pada masa lalu ini hilang atau punah. Karena itulah, saya benar-benar menggelutinya, dan mengajarkannya kepada generasi sekarang”, terang Daeng Tutu yang penjelasannya ia tembang dalam sinrilik.
Seiring waktu, sinrilik telah menjadi bagian dari diri Daeng Tutu. Ia benar-benar meresapinya. Nada yang lahir dari alat musik sinrilik melibatkan rasa katanya. Tak ada kunci nada yang baku digunakan. “Nada sepenuhnya subjektif seorang passinrilik”, ujarnya.
Yang lebih utama dari sinrilik, kata Daeng Tutu adalah adanya kemauan besar dan konsistensi dari penggiatnya. “Karena itu, menggeluti seni ini tak perlu sekolah ke pendidikan tinggi atau bahkan keliling dunia belajar musik dan sastra. Konsistensi kita yang penting. Bagaimana memelihara idealisme seni ini agar tetap bertahan”, ujar seniman yang telah diundang ke berbagai negara tersebut.
Di masa sekarang, minat terhadap kesenian ini sangat minim. Anak-anak muda yang memiliki perhatian terhadap sastra sinrilik hanya bisa dihitung jari. Fenomena ini tentu saja membuat hati daeng tutu terenyuh. Tetapi tidak patah arang. Sebab itu, di usianya yang menjelang senja, Daeng Tutu justru makin bergairah untuk memomuliskan sinrilik di pentas budaya mesti tertatih.
Untuk menjawab tantangan ini, ia berusaha pula untuk kontekstual. Di berbagai pentas, ia tak jarang memainkan sinrilik berlatar sosial masyarakat hari ini. Menurutnya, banyak pesan sinrilik yang mesti dikomodifikasi agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan untuk masa yang akan datang. “Tantangan terbesar sebagai seorang passinrilik terletak pada persoalan tersebut”, tukasnya.
*Penulis : Abdul Chalid