
Sekedar untuk menyederhanakan ruang diskusinya maka penulis berfokus pada circle yang terkait yaitu kampus sebagai entitas perguruan tinggi. Berbicara kampus maka ada relasi antara dosen dan mahasiswanya, pendidik dan yang dididik. Ada relasi kuasa dari hubungan ini. Secara formil, hierarki sosial dosen lebih tinggi ketimbang mahasiswanya.
Relasi dosen dan mahasiswa sebenarnya sah-sah saja dan wajar adanya. Adanya interaksi selama proses pengajaran baik secara teoretik dan praktikal pasti membutuhkan relasi ini. Di luar aktivitas itu, relasi pun bahkan bisa semakin terbuka, karena dosen bisa menjadi patron, inpirasi, tolak ukur bahkan rekan mahasiswa. Proses relasi ini yang akan menimbulkan dua kesan berbeda, negatif dan positif.
Tentu kita tertampar dengan kasus dugaan penyalahgunaan relasi seperti di Universitas Riau, Universitas Sriwijaya, Universitas Negeri jakarta, Unsoed (https://news.detik.com/berita/d-5850022/makin-panjang-daftar-kasus-mahasiswi-diduga-dicabuli-di-kampus/1). Ini baru yang terungkap atau akan terungkap, desas desus lainnya bahkan bisa lebih banyak.Korban yang takut untuk speak up atau karena mutual relations masih terjaga meski secara etika bermasalah.
Patuh etika seorang dosen
Mengapa tak membahas mahasiswanya? Penulis memandang bahwa efek kuasa dosen yang besar itulah yang sangat potensial memupuk relasi tak sehat dengan mahasiswanya. Meski senyatanya secara kasuistik akan bisa ditemukan kejadian berkebalikan.
Dosen tentu bukan hanya pendidik atau pengajar yang hanya mentransfer ilmu semata sesuai dengan bidang dan kompetensinya. Lebih dari itu, profil seorang dosen akan menjadi contoh bertutur, bertindak dan berfikir bagi mahasiswanya. Kepribadian terjaga dari dosen bahkan menjadi faktor penentu keberhasilan seorang mahasiswa dari sisi kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
Perguruan tinggi mesti menjadi kawah candradimuka pendidikan yang akan meningkatkan kualitas dan kuantitas emosional, intelektual sekaligus spritual para mahasiswa sekaligus dosennya. Sebagai insan yang bertuhan dan patuh pada norma, sangat penting bagi dosen menjaga tindak tanduk perilaku.
Sexual Consent dan Masa Depannya
Tak jarang kasus pelecehan seksual di luar nikah yang terungkap, dengan berdalih suka sama suka, tapi kemudian ada masalah di belakang hari maka menjadi masalah baru. Berdalih consent atau kesepakatan, mestinya tidak menjadikan dosen bebas berbuat. Sebagai bangsa beradab dan beragama maka akal sehat pasti menolak jika saja ada dosen yang melakukannya. Bahkan kegiatan ini bisa memupuk seks bebas yang semakin mendapat tempat karena dilakukan oleh orang-orang terdidik.
Sangat biadab rasanya, dosen yang terbiasa menyampaikan nilai-nilai kebaikan, menjadikan tut wuri handayani sebagai semangatnya; ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). Namun malah melegalkan kebebasan seksual hanya berdasarkan sexual consent.
Jika dianalisis lebih jauh maka perbuatan ini akan meruntuhkan konsep ketahanan keluarga yang sudah lama terbangun. Sakralitas hubungan pernikahan dan hubungan kekeluargaan antara suami istri serta anak menjadi rapuh dan tak punya arti jika berhadapan dengan paradigma sexual consent ala barat.
Relasi Ideal Dosen dan Mahasiswa
Posisi dosen dan mahasiswa tentu berbeda satu sama lain sesuai perannya; pendidik dan yang dididik. Namun perbedaan ini mesti tetap dalam koridor yang sama untuk satu tujuan pendidikan yaitu pencerdasan kehidupan bangsa.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika sedemikian mulia tujuan ini maka jangan dirusak dengan memasukkan anasir-anasir yang tidak sesuai dengan falsafah bangsa ini.
Pepatah orang Bugis berkata “taro ada taro gau”. Beginilah semestinya dosen kita berperilaku. Jangan sampai malah yang ada “taro ada tataro gau”.
Semoga kita semua terjaga…