Jurnal & Policy BriefOpini

Etika dalam Pemanfaatan Ruang Publik

0
Ilustrasi

Abdul Chalid : Dosen Ilmu Politik UTS Makassar

Tidak sedikit, ketimpangan, kekerasan dan konflik sosial yang hadir dalam ruang publik berawal dari masalah etika. Apalagi jika sebuah ruang itu dihuni oleh masyarakat yang berlatar etnik, agama, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Seperti di Indonesia yang notabene sebagai negara dengan latar belakang etnik dan agama. Di negara Indonesia, konflik yang berlatar masalah sosial seringkali terjadi. Seperti yang tampak di daerah-daerah perkotaan, seperti tawuran antar pelajar, lalu di daerah pedesaan, konflik antar kampung. Biasanya berawal dari masalah-masalah kecil yang seharusnya dapat diselesaikan apabila fungsi-fungsi sosial di kota dan desa berjalan dengan baik. Salah satu fungsi sosial yaitu berlangsungnya interaksi sosial dalam sistem sosial yang sarat dengan konsensus dan aturan, atau norma-norma sosial.

Berdasarkan data Kementrian Sosial, pada tahun 2012 telah terjadi 2.883 konflik terjadi di Indonesia. Dari jumlah tersebut telah ditandai sebanyak 184 titik kemungkinan terjadinya konflik besar. Sementara data Kementrian dalam Negeri menunjukka bahwa dari Januari hingga September 2013, terjadi sebanyak 351 peristiwa konflik terjadi di tanah air.

Tidak ada keterangan secara jelas motif yang melatari konflik-konflik tersebut, namun, jika melihat fenomena konflik di Indonesia sejak beberapa tahun sebelumnya, peristiwa tersebut biasanya hanya terdiri atas tiga, masing-masing konflik vertikal, horizontal dan konflik politik.

Seringkali proses demokratisasi pemilihan kepala daerah di Indonesia juga sebagai akibat diabaikannya etika dalam proses komunikasi politik. Termasuk pada proses komunikasi yang diperankan media sebagai ruang publik baru.

Di Makassar misalnya, pada pemilihan kepala daerah, atau walikota Makassar periode 2014-2018 lalu, media yang memiliki fungsi mentransformasikan informasi yang mendidik justru memainkan peran ganda sebagai bagian dari alat kampanye. Melalui pemberitaan dan iklan-iklan politik, media intensif menyebarkan propaganda pada waktu lalu. Keberpihakan media sangat tampak bila dianalisis dari segi isi dan pesan yang disampaikan.

Terseretnya media dalam proses dukung mendukung pada pemilihan kepala daerah, menjadikan publik sebagai objek yang dirugikan. Media sebagaimana fungsinya, secara ideal mestinya mampu menjadi ruang berlangsungnya komunikasi secara inklusif, partisipatif, dan adil bagi semua pihak.

Konflik politik yang bersumber dari media salah satunya dapat dilihat pasca pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Palopo pada Maret 2013 lalu. Saat itu, massa salah satu pendukung calon yang kalah bertindak anarkis, dan menyerang membakar sejumlah fasilitas publik. Seperti kantor Walikota Palopo, dan sekertariat Partai Golkar. Selain itu massa juga menyerang media, seperti Palopo Pos, Biro Harian Fajar Palopo, Kantor perwakilan Sindo Palopo dan perusakan Stasiun Radio Makara. Massa menyerang media karena menilai, dalam Pilkada Palopo, media berpihak pada calon lain. Keberpihakan tersebut mereka nilai dari pemberitaan sebelum dan sesudah pemilihan berlangsung.

Miris, media sebagai ruang berlangsungya transformasi informasi yang menjalankan fungsi-fungsi kontrol, harus diintimidasi. Namun, pada sisi lain, keterlibatan media tidak dapat dipungkiri pada berbagai momentum Pilkada, sehingga dapat menarik aksi anarkis dari massa pendukung. Padahal pekerja media diikat oleh kode etik dalam menjalankan tugas-tugasnya. Salah satunya adalah independen dari intervensi politik. Maka dengan melihat latar belakang di atas, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang etika dalam ruang publik.

B. Pentingnya Etika pada media sebagai ruang Publik

Ruang publik merupakan titik sentral dalam melihat mapannya sebuah negara dalam kehidupan berdemokrasi. Dalam ruang publik, setiap individu dengan latar belakang yang beragam dan kepentingan yang berbeda dapat membangun komunikasi secara setara, serta memungkinkan terjadinya partisipasi. Oleh Jurgen Habermas, ruang publik merupakan ruang berlangsungnya komunikasi politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.

Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai sebuah komunitas virtual atau imajiner yang tidak selalu ada di setiap ruang. Dalam bentuk yang ideal, ruang publik adalah ruang yang terdiri dari orang swasta berkumpul bersama sebagai publik dan mengartikulasikan kebutuhan masyarakat dengan negara. Melalui tindakan perakitan dan dialog, ruang publik menghasilkan pendapat dan sikap yang berfungsi untuk menegaskan atau tantangan.

Oleh karena itu dalam tataran ideal, ruang publik adalah sumber dari opini publik yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam beraspirasi dan berpendapat tanpa tekanan dan perlawanan dari pihak manapun. Selanjutnya Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk mengkomunikasikan informasi dan juga pandangan.

Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung, seperti media massa. Apalagi pada masa sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi media juga mengalami transformasi ke media baru, yaitu media sosial. Hampir sebagian besar komunikasi yang berlangsung di dunia nyata bergeser ke dunia maya secara intensif. Dengan begitu media akhirnya menjadi ruang publik baru. Terlebih setelah didukung oleh sistem konvergensi media.

Munculnya sistim media yang konvergen setidaknya membawa pengaruh besar terhadap proses transformasi informasi. Masyarakat diuntungkan karena dengan mudah, cepat, dan praktis memperoleh informasi secara luas dan akurat dengan suguhan fakta di depan mata. Dibalik perubahan mendasar dalam sistim transformasi informasi ini, masyarakat juga diajak lebih adaptif. Terutama dalam peningkatan kapasitas pengetahuan tentang teknologi informasi. Bahkan lebih jauh lagi, di era informasi ini, masyarakat lebih terbuka serta berusaha memahami efek media dalam konteks kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Tentu, kemajuan media merupakan konsekuensi logis perjalanan peradaban manusia. Karena itu, terjadinya konvergensi media disamping menciptakan peluang dalam mengakses informasi yang lebih akurat bagi masyarakat, konvergensi media juga sekaligus memberikan tantangan baru. Satu diantaranya, terjadinya perubahan mendasar dalam sistim informasi yang menuntut kapabilitas individu dalam menguasai teknologi terbaru. Dengan sendirinya, kemajuan media akan merubah watak dan karakter masyarakat menuju peradaban modern yang memahami hak-hak dan kewajibannya dalam negara demokrasi.

Namun, kenyataan memang bisa pula berbalik dimana eksistensi industri media secara idealisme juga terancam. Ruh media sebagai alat kontrol secara nurani yang pro rakyat, akan tergerus oleh citarasa kepentingan ekonomi dan politik.

Kenyataan saat ini bahwa konvergensi pada media, rupanya tak hanya terjadi pada wilayah aplikasi teknologinya saja. Konvergensi juga terjadi pada wilayah kepemilikan media. Tak jarang terjadi akuisisi. Sehingga tidak sedikit kita jumpai tiga hingga sekian banyak hanya dimiliki oleh seorang pemilik saja. Dengan kondisi ini, kenyataan baru bisa muncul yaitu terjadinya monopoli usaha media. Selain memberikan manfaat, tentu saja dengan kecepatan serta akurasi yang dimiliki media dapat menjadi alat “pembunuh”.
Apa dampak dari monopoli media? Sudah pasti terjadi monopoli informasi.

Pada ranah kajian masyarakat demokrasi, tentu saja kondisi ini tidak menguntungkan. Sejak penelitan masalah-masalah media marak dilakukan. Soal monopoli media telah menjadi salah satu sorotan para pengamat dan praktisi komunikasi. Kekhawatiran terhadap monopoli dan dampaknya bukan tak berasalan. Di Amerika Serikat saja, di awal-awal kehadiran industri media, upaya monopoli telah terjadi.

Pada konteks tersebut, para pengamat media menemukan fakta, salah satu penyebab munculnya hasrat monopoli karena media dianggap memiliki pengaruh besar terhadap arah perubahan kehidupan sosial politik. Trennya, media juga lebih sering menjadi sasaran empuk, memuluskan kepentingan politik di level pengambilan keputusan sebuah pemerintahan. Atau, pada oknum-oknum aparat negara yang memiliki usaha-usaha illegal, dan sebagainya. Hal itu mengacu misalnya pada kasus Watergate di Amerika yang populer itu.

Hal sama juga terjadi saat ini. Media masih dilihat sebagai sebuah kekuatan atau entitas yang memiliki pengaruh besar terhadap proses kehidupan sosial politik. Situasi ini menyebabkan elit politik dan kekuasaan tak henti mengulak-alik siasat, bagaimana menguasai media. Jika di masa Orde Baru, budaya kritik media dimatikan secara , sekarang elit kekuasaan cenderung mematikan dengan cara memusatkan kekuasaan dan kepemilikan modal. Dengan begitu, kelompok pro rakyat dan demokrasi melemah, sehingga media dapat pula dikuasai melalui kekuatan modal.

Terbukti, hampir seluruh media di Indonesia sekarang ini, terutama televisi dikuasai pengusaha yang sekaligus politisi. Dalam konteks ini, lahirnya media yang konvergen membawa dampak besar bagi proses kehidupan demokrasi di Indonesia. Sehingga, sebaliknya justru bisa jadi ancaman besar kehidupan berdemokrasi di negeri ini. Bisa dibayangkan di era konvergensi ini, kecepatan dan daya jangkau media yang luas berkolaborasi dengan kepentingan elit.

Media massa sebagai ruang publik mempunyai dua peran penting, yaitu sebagai sumber informasi dan menyediakan ruang bagi publik untuk melakukan diskusi dan debat publik. Namun, besarnya pengaruh media terhadap perilaku publik, mendorong kalangan elit untuk melakukan penguasaan terhadap media. Masalah itu sudah menjadi kesadaran umum, dan telah berlangsung seiring dengan kehadiran media itu sendiri.

Oleh karena itu, pada perkembangannya pekerja media diikat oleh kode etik dalam bekerja atau dikenal dengan istilah kode etik jurnalistik. Etika itu sebagai hasil konsensus bersama dengan orientasi kepada kepentingan publik. Ditinjau dari pendekatan bahasa etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak atau moral. Adapun “kode”, berasal dari bahasa Inggris “code”.

Pengertian dasarnya adalah himpunan ketentuan atau peraturan petunjuk yang sistematis. Maka kode etik dapat diartikan sebagai sekumpulan petunjuk tentang moralitas. Jadi kode etik sangat sarat dengan asas-asas moralitas yang meliputi, tidak beritikad buruk, menghormati hak privasi orang lain, tidak berbuat cabul dan sadis, tidak merendahkan martabat orang-orang miskin, dan lain-lain.

Kode etik jurnalistik sangat dibutuhkan untuk mengikat jurnalis secara moral agar tidak menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan tertentu. Dengan demikian, selain asas moral, media juga dapat menjalankan asas demokrasi secara baik Asas tersebut meliputi, keberimbangan, independen, dan mengutamakan kepentingan publik. Selain itu, kode etik juga sarat dengan asas profesionalitas yang menuntut pekerja media untuk menghasilkan karya bermutu, serta asas-asas hukum yang meliputi asas praduga tak bersalah, tidak menerima suap, dan lain-lain.

C.Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dalama makalah ini, dapat ditarik sejumlah kesimpulan, sebagai berikut :

1.Media merupakan ruang publik baru karena mensyaratkan berlangsung komunikasi dua arah antara dua orang atau lebih.
2.Komunikasi pada media sebagai ruang publik baru menyangkut apa saja, termasuk komunikasi politik.
3.Seiring dengan konvergensi teknologi canggih, informasi media makin cepat sehingga berpotensi memiliki pengaruh lebih besar pula.
4.Media harus terikat pada kode etik, salah satunya mengedepankan kepentingan publik agar bebas dari intervensi satu kepentingan tertentu.

.
Daftar Pustaka

Winda Armada Sukardi. 2007. Close Up Seperempat Abad Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Jakarta : Dewan Pers.

http://nasional.sindonews.com/read/778317/15/2-883-konflik-terjadi-di-indonesia-tahun-2012

 

Editor

Gelar PKKMB, FISIP Unhas Usung Tema Kolaborasi

Previous article

Belajar Kewirausahaan bersama Anak literasi

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *