
Malu adalah perasaan tidak enak hati jika melakukan tindakan yang kurang baik, tidak baik, atau yang berbeda dari kebiasaan lazim yang dipraktikkan sebagai nilai kultural dalam satu konteks kebudayaan umat manusia.
Malu dalam perspektif orang beriman adalah sifat tidak enak hati jika melakukan tindakan yang bertentangan dengan keimanan, kepercayaan, baik itu dalam tempat terbuka atau bahkan tertutup.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia yang telah dibekali dengan berbagai kelebihan sesungguhnya tidak diciptakan begitu-begitu saja. Ada makna yang lebih dari sekedar menggunakan potensi untuk makan, minum, atau hidup ala kadarnya. Makna itu adalah produktivitas yang berbasis pada keyakinan kepada Sang Pencipta.
Sebuah rasa malu jika berbagai kelebihan yang dianugerahkan-Nya tidak dimanfaatkan untuk mengabdi setulus-tulusnya kepada Dia, sekaligus berkhidmah sebaik-baiknya kepada manusia dan alam. Perasaan malu itu akan menggerakkan seorang beriman untuk menjadi pribadi produktif dalam ranah yang dia sukai dan dia minati. Hasilnya, cepat atau lambat akan dirasakan oleh manusia.
Rasa malu merupakan sifat pendorong manusia untuk menunaikan kewajiban, menyambung silaturahmi lewat online maupun offline, menghormati dan mendoakan kedua orang tua, bertekad untuk menjadi “tanda mata” yang baik dari orang tua, berlaku adil kepada manusia, tidak zalim ketika sedang berada di puncak kuasa karena kuasa itu tabiatnya sementara dan kerap menipu.
Rasa malu akan mendorong seorang beriman untuk menyadari dirinya bahwa eksistensi hidupnya tidak sekedar untuk makan, tidur, dan online. Tapi, dia hidup untuk mengenal dirinya: siapa diri saya, saya berada di mana, dan saya hendak kemana? Orang beriman menyadari bahwa dia adalah ciptaan Sang Maha Pencipta yang dengan kekuasaan dan keadilannya yang meliputi segenap persada. Dia ada, dia melihat kita, dan dia selalu mengirimkan pesan lewat berbagai fenomena alam besar (semesta) dan alam kecil (diri).
Rasa malu mulai hilang ketika manusia telah tunduk pada hasrat hewani. Sebuah hasrat fisikal semata, survival saja, orientasi sementara saja, dan jauh dari makna kenapa sebuah tindakan harus dilakukan. Ketika hasrat hewani mendominasi maka pikiran, perasaan, dan tindakan manusia telah terpenjara oleh tabiat rendah, dan lambat laun dia memaklumi bahwa “inilah diri saya”, sebuah ketidakberdayaan yang diperturutkan secara akumulatif.
Maka, kita melihat pikiran, perasaan, dan tindakan manusia produktif di berbagai tempat. Mereka sadar bahwa diri ini adalah amanah yang kelak akan ditanya oleh yang punya: apa yang kau lakukan dengan amanah pikiran, perasaan, dan tubuhmu ketika di alam fana?
Sadar dengan visi baqa’, visi perjalanan panjang manusia bahwa kehidupan ini merupakan rangkaian dari sekian banyak etape perjalanan yang harus ditempuh, manusia kemudian berusaha menunaikan amanah untuk beribadah. Klasik memang kata ‘ibadah’ tersebut, tapi di situ ada kesadaran, keinsyafan, ketulusan, keberanian, dan perjuangan agar tidak malu di hari kemudian.
Kesadaran akan visi panjang itu membuat orang beriman berlomba-lomba memperbaiki kualitas diri, mempermantap aktualisasi, dan menundukkan talbis iblis, ana khairun minhu, “aku lebih baik daripada dia”, yang sering sekali membuat nurani berteriak tapi yang ada hanya sepi. Hati yang berkarat, bernoktah yang sering sekali hitamkan jiwa harus dibersihkan dengan kesadaran iman dan rasa malu jika tidak bermakna positif bagi diriku, bagi keluargaku, dan bagi masyarakatku.
Bogor, 16 Oktober 2020