
Penulis : Abdul Chalid BP,.SIP.M.Si, Dosen Ilmu Politik UTS Makassar
Literasi, atau menulis adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan peradaban manusia. Kemajuan peradaban sebuah entitas sosial bahkan diukur dari budaya literasinya. Oleh karena itu, di negara-negara penganut paham demokrasi, dunia menulis menjadi salah satu ruang dalam menakar kualitas kehidupan bernegara. Terutama literasi media. Seiring terbukanya kran demokrasi pada tahun 1998, media
di Indonesia kini tumbuh subur. Dengan didukung teknologi canggih, fungsi-fungsinya sebagai ruang transformasi informasi berlangsung makin cepat dan massif.
Media benar-benar membawa pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Contoh kecil, dengan terbukanya ruang di media, dibanding sebelumnya, kini masyarakat lebih berani dalam menyampaikan pendapat dan kritik terhadap fenomena di sekitarnya. Baik menyangkut kehidupan sosial, maupun terhadap sistim penyelenggaraan negara, atau kontrol terhadap pemerintah.
Namun demikian, setelah 16 tahun reformasi bergulir, eksistensi media pasca Orde Baru di Indonesia rupanya belum sepenuhnya membawa perubahan besar di beberapa aspek. Misalnya dalam mendukung wacana-wacana keadilan bagi perempuan. Malah, di banyak kasus, media justru jadi alat legitimasi terhadap tindak eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan. Jadi, meski mengalami kemajuan dibanding era sebelumnya, namun eksistensi media itu tak sebesar ekspektasi kita dalam aspek-aspek tertentu.
Misalnya saja, tahun 2011 Komnas HAM Perempuan menemukan kecenderungan media yang menempatkan perempuan sebagai wacana pinggiran. Sebanyak 59 persen dari pemberitaan, atau 715 berita, diletakkan pada rubrik sekunder. Sisanya berada di rubrik primer 477 berita, 10 berita di rubrik tambahan dan delapan berita di rubrik khusus perempuan.
Komisi nasional untuk Perempuan mengungkap, 30 hingga 50 persen pemberitaan di media menyangkut perempuan. Mereka menemukan sebanyak 1210 berita tentang perempuan.Berita tentang kekerasan paling banyak, 346 berita, disamping berita tentang HAM umum 307 berita, upaya, 307 berita, perempuan berhadapan dengan hukum, 85 berita, diskriminasi dan pelanggaran ham berbasis gender, 84 berita, agency 57 berita, dan lainnya, 24 berita.
Hampir tiga perempat dari pemberitaan kekerasan tentang seksual. Tiga jenis kekekerasan seksual yang paling banyak diliput adalah perkosaan, 99 berita. Pelecehan seksual 30 berita dan kontrol seksual 26 berita.
Dalam beberapa tahun ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga sangat fokus mengamati arah wacana media, khususnya menyangkut keadilan gender. Penelitian AJI terakhir menunjukkan, masih rendahnya keberpihakan media terhadap perempuan. Hasilnya hampir sama dengan Komnas HAM, berkisar sekitar 30 persen berita di media mengenai perempuan. Namun umumnya hanya mengenai dua tema besar, “kekerasan dan sensualitas”.
Kekerasan sama dengan 22,05 persen, di luar berita tentang perdagangan perempuan 1,03 persen. Kondisi ini di luar eksploitasi massif terhadap perempuan lewat content iklan. Meski demikian, terjadi perubahan cukup signifikan. Media juga mulai membicarakan tentang peningkatan taraf hidup perempuan hingga 17,44 persen.
Di Makassar juga demikian. Perempuan di media nasional adalah miniatur besar perempuan di media lokal. Bahkan, lebih parah lagi mengingat berurat berakarnya budaya patriarki dalam sebagian besar masyarakat Makassar. Media sebagai ruang realitas ke dua, tetap saja memiliki framing yang sama terhadap perempuan seperti dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma patriarki sangat dominan. Itu tercermin dari pemilihan angle, judul, lead berita, bahasa dalam setiap pemberitaan.
Sudut pandang dan bahasa literasi media sangat populer dengan kalimat pasif. Perempuan cenderung dieksploitasi, bahkan dilecehkan. Misalnya, tampak dalam penggunaan kata dan kalimat pada judul-judul dan isi berita, korban “digagahi”, “digarap”, dan lain sebagainya. Sepintas tampak sepele, tapi secara tidak sadar kemasan bahasa sebenarnya dapat mereduksi informasi atau kasus yang terkait.
Belum lagi pada aspek etik, seperti penonjolan identitas korban kekerasan, tindak asusila, dll.Akibatnya, dalam banyak kasus, perempuan di media seringkali menjadi komoditas pemberitaan yang memberikan efek berlipat dua kali terhadap korban kekerasan.
Kebebasan dan Pornografi
Bagaimanakah media menempatkan perempuan dalam ruang wacana? Mengenai perempuan berkiprah di ruang publik, hampir sebagian masyarakat Indonesia kini tak memasalahkan. Bahkan sebagian kalangan agamawan juga mendukungnya. Tapi pada aspek pornografi dan erotisme, maka satu hal yang berbeda dalam wacana perempuan di tanah air.
Sebagai representasi dari realitas, dalam berbagai literatur telah dikemukakan perbedaan-perbedaan pandangan mengenai “ketelanjangan” dan feminisme. Hal itu, juga sekaligus merupakan cerminan dari diskursus feminisme di negeri kita. Oleh Ann
Brooks dalam postfeminism, cultural theory and cultural forms, membagi tiga kelompok paradigma mengenai “ketelanjangan” itu. Ada aliran radikal libertarian yang memandang “ketelanjangan” atau dalam perspektif kita, disebut pornografi, adalah bentuk kebebasan berekspresi perempuan.
Namun, ada aliran feminisme radikal kultural yang menolak pornografi karena dianggap mendudukkan perempuan pada relasi tak setara, atau hanya menjadi objek untuk menumbuhkan keinginan seksual laki-laki. Kemudian ada pula post feminisme, yang lebih menitikberatkan pornografi tergantung pada konteks dan derajat tertentu. Misal untuk kepentingan membela kelompok-kelompok minoritas, mereka tak menolak Pandangan di atas sebenarnya hanya cermin dari perang pemikiran dalam berbagai aspek di negeri kita.
Tak hanya di media, tapi pada bidang lain seperti karya sastra dan seni juga terjadi. Bahkan di arena politik. Di luar tiga aliran tersebut, sebenarnya terdapat kelompok yang paling kuat menentang pornografi. Para agamawan atau teolog feminis merupakan elemen paling keras dalam menentang pornografi. Tentu pandangan ini menyangkut eksistensi manusia sebagai makhluk
beragama.
Dalam analisis framing, tentu paradigma intrapersonal dan interpersonal sangat berpengaruh dalam merekontruksi fakta dalam sebuah peristiwa. Sebab itu, ada pandangan yang menilai, sebagian besar sosok di balik media Indonesia adalah kelompok libertarian. Itu tampak dari paradigma media Indonesia yang cenderung mengabaikan konteks, yaitu nilai umum dari mayoritas. Khususnya interpretasi terhadap kebebasan berekpresi. Ada kesan, nila-nilai lokalitas dan agama yang mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia dianggap kolot dan ketinggalan zaman. Termasuk dalam masalah perempuan.Tapi pada aspek lain, sikap personal di balik media acapkali menunjukkan inkonsistensi. Dari analisis penelitian di atas, pada aspek lain tak jarang subordinasi lelaki terhadap perempuan dalam budaya patriarki sangat tergambar dalam bingkai media. Seperti pada berita-berita kasus kekerasan, dan stereotipe perempuan pada urusan domestik. Tengok saja berita-berita
harga barang di pasaran, umumnya selalu menampilkan ibu-ibu.
Atau berita kasus-kasus kekerasan rumah tangga, pembantu, tenaga kerja Indonesia, dan lain-lain yang menempatkan perempuan pada tingkat tertentu. Merebut ruang wacana Dalam masyarakat kapitalis, media merupakan alat hegemoni paling berpengaruh. Oleh karena itu, selalu menjadi arena tarik menarik kepentingan ekonomi dan politik. Perempuan, tak jarang hanya dipandang tak lebih dari sekadar komoditas ekonomi pada media. Apa yang laku di pasar, itulah yang baik. Tak heran sensualitas menjadi salah satu sisi paling banyak diusung dari perempuan.
Sebagian pihak menganggap kekerasan terhadap perempuan juga bagian dari mata rantai efek media massa. Eksploitasi terhadap perempuan, bahkan anak-anak di bawah umur melalui video-video terus merebak. Kenyataannya, Indonesia juga ditempatkan sebagai negara dengan khalayak pengakses situs porno terbesar di dunia. Bagaimana melawan kekerasan terhadap perempuan dalam wacana media? Dalam workshop writng for women baru-baru ini, AJI Makassar sebagai lembaga profesi jurnalis yang konsen pada penegakan profesinonalisme, mengumpulkan perwakilan 15 komunitas perempuan di Makassar. Bagi AJI Makassar, salah satu jalan melawan kekerasan terhadap perempuan adalah mendorong komunitas tersebut merebut ruang wacana di media.
Sekarang, di era sosial media, perempuan memiliki ruang besar dalam melawan kekerasan dan tindakan marjinalisasi terhadap mereka. Paling tidak, mereka mampu merebut ruang wacana dengan menyuarakan kegiatan komunitas mereka secara intens melalui media mainstream, maupun jurnalisme warga lewat media sosial seperti blog, webside, facebook, twitter, dan lain sebagainya. Lawan kekerasan terhadap perempuan!(*)