Editor 12 Maret 2023
Abdul Chalid,S.IP,M.Si, Dosen Prodi Politik UTS Makassar

“Saya akan memilih Capres tertentu nanti. Ya, saya pilih saja yang sesuai keinginan saya, walaupun  tak berharap banyak juga akan ada perubahan dari pilihan itu. Sudah berapa pemilihan presiden kita lakukan sejak dulu tapi hidup kita, ya…, begini-begini saja. Siapapun presidennya, tidak ada yang berubah. Saya tetap menjadi penjual cendol.”

Saya kerap memanggilnya mas saja dan tak pernah bertanya siapa nama sebetulnya. Jawabannya datar, pasrah dan tak ada motivasi ketika saya tanya tentang dukungan atau pilihannya di pemilihan presiden 2024.

Ia seorang penjual cendol keliling yang sering mangkal tak jauh dari kompleks rumah kami di Desa Moncongloe Lappara, Maros. Saya sudah kesekian kalinya  membeli cendol gula aren di gerobaknya. Sudah langganan.

Setiap beli, saya ajak si mas-nya bercerita apapun. Kadang-kadang bercanda atau guyon dengan membahas realitas-realitas sosial yang dihadapi masyarakat kelas menengah. Sambil menunggu ia menuntaskan racikan cendol, santan dan cairan gula aren dalam gelas plastik seharga 5 ribu rupiah, biasanya, saya mengajukan satu isu atau peristiwa yang tengah populer di media sosial, termasuk soal politik.

Dan tampaknya, mas penjual cendol tak pernah ketinggalan informasi. Ia selalu menanggapinya, walau dengan guyon, atau seperti diksi tadi, pasrah dan pesimis.

Masyarakat menengah ini-di dalamnya termasuk saya juga, kalau melihat pendapat psikolog Abraham Maslow yang populer itu, mungkin masuk pada masyarakat level tingkat dasar. Mereka yang masih perlu memenuhi kebutuhan yang mencakup kebutuhan biologis dan fisiologis. Sandang dan pangan.

Maslow berpendapat bahwa tingkat kebutuhan manusia dimulai dari yang paling dasar, yaitu kebutuhan biologsi dan fisiologis. Pada tingkat ini, usaha manusia disebut masih berkisar pada keinginan memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, atau dikenal sandang pangan.

Menurutnya manusia tidak akan dapat berpindah ke level berikutnya bila kebutuhan tingkat dasar ini belum terpenuhi. Jika terpenuhi maka manusia baru akan memikirkan tahap selanjutnya, yaitu kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan terakhir, kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Jadi, rutinitas hidup dasar ini, sibuk atau hanya berkisar pada pemenuhan kebutuhan hidup saja.

Kalau kata lagu Bang Haji Rhoma, “gali lubang, tutup lubang”. Belum tiba pada level social needs, apalagi pada tingkat aktualisasi diri. Apa benar kata Maslow itu?

Teori Maslow banyak juga yang bantah dan kritik, bahwa hierarki kebutuhan manusia tidak selamanya berlangsung linear seperti yang diutarakannya itu.

Pada kenyataannya, kita seringkali menyaksikan manusia melakukan gaya hidup yang zig-zag. Walau ekonominya masih gonjang ganjing. Toh, ia aktualisasi diri tanpa tedeng aling-aling.

Ada kan itu pepatah, biar miskin asal sombong, wakaka! Guyon dan sedikit satir. Tapi kalau dipikir-pikir, agak “nyambung” dengan realitas. Artinya, cukup banyak anomali seperti itu dalam kehidupan sehari-hari yang kita saksikan secara langsung.

Ambil contoh Indonesia. Negara kita ini dikenal sebagai negara paling dermawan di dunia; menurut Charities Aid Foundation yang merilis World Giving Index tahun 2022. Padahal, kita tahu kelas menengah atau dalam bahasa Maslow disebut manusia yang pada tahapan safety needs di Indonesia adalah kelas ekonomi mayoritas.

Jumlah itu ditambah lagi yang menengah ke bawah. Cukup banyak. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang. Benar, apa tidak. Kita percaya sajalah BPS, hehe.

Kalau mengikuti tahapan hidup Maslow, peluang mayoritas masyarakat Indonesia untuk tidak dermawan sesungguhnya bisa lebih besar . Sebab, mereka masyarakat yang belum selesai dengan pemenuhan kebutuhannya yang belum stabil. Menurut Maslow, tipe masyarakat seperti ini belum memiliki kesempatan untuk menyisikan banyak waktu berbuat sosial.

Grafik World Giving Index 2022 oleh CAF

Namun aspek ini saya anggap sebagai perilaku yang lahir secara alamiah dari dalam masyarakat Indonesia. Pada sisi ini, saya begitu percaya, agama dan budaya yang tumbuh di tengah masyarakat kita memiliki peran terhadap perilaku kedermawan orang Indonesia itu sendiri.

Islam misalnya, yang dianut oleh mayoritas masyarakat di negara ini, sangat menganjurkan pemeluknya sebagai pribadi yang murah hati, dengan banyak memberi atau bersedekah kepada manusia lain yang membutuhkan.

Selalu bersedekah menurut Islam itu, ya berarti aktivitas yang bersambung-sambung dan berkelanjutan. Dan, dilakukan dalam keadaan lapang maupun sempit. Konsep itu diperkuat lagi dengan ajaran untuk  mencintai orang miskin, anak-anak yatim, orang tua, dan kaum tertinggal lainnya.

Islam menegaskan bahwa dalam setiap harta orang muslim itu, terdapat sekian persen hak orang miskin dan anak yatim atau orang tidak mampu lainnya. Dan, hak itu mesti disisihkan dari harta pribadi orang Islam sekali setahun yang dikenal dengan zakat.

Pada aspek budaya juga demikian. Hampir seluruh komunitas sosial dan budaya di Indonesia yang dikenal dengan kelompok etnik mengenal konsep gotong royong.

Jadi, tidak heran bila di Indonesia, kita seringkali menemukan orang-orang yang secara ekonomi belum aman bila ditinjau dari teori Maslow, namun sangat aktif dalam berbagai aktivitas sosial.

***

Untuk bermanfaat, tak perlu tunggu kaya. Barangkali saja, adigium itu benar-benar ada dalam benak hampir setiap manusia Indonesia, terutama kalangan umat Islam.

Secara, memang dalam teologi Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang tak pernah puas diri. So, banyak yang walau sudah kaya, ia berpotensi terjebak pada pusaran tingkat kebutuhan dasar ala Maslow. Selalu merasa belum cukup. Frasa agama menyebutnya tidak bersyukur.

Kalau sudah punya rumah besar nan mewah satu, mau tambah jadi dua. Punya mobil mewah satu, juga mau tambah. Begitu terus, sampai hartanya berkarun-karun. Begitu kan?? Kita tengoklah kasus-kasus korupsi oknum pejabat yang muncul ke publik hari-hari ini. Kesannya seperti itu. Tak pernah puas atau kata lain, korup yang disebabkan sifat “rakus”.

Perilaku tak pernah puas oleh oknum elit kekuasaan dan pejabat ini sesungguhnya  telah menjadi tontonan publik atau masyarakat luas dalam waktu lama. Perilaku yang berulang-ulang, dan negara seolah tak punya kekuatan untuk meminggirkannya.

Peristiwa ini seakan telah menjadi pola, dan menciptakan memori kolektif di sebagian kalangan masyarakat menengah bawah, “elit tak pernah memikirkan mereka”.

Yang kaya, kian kaya, dan miskin kian miskin. Rasa was-was sebagaimana kata-kata itu benar-benar tumbuh di benak orang seperti mas penjual cendol dekat rumah saya tadi. Gejalanya, dapat dicermati  dari sikap mereka yang terkesan apatis dan pasrah pada momen proses politik di Indonesia.

“Pemilihan presiden juga sudah berkali-kali terjadi, setiap lima tahun. Tapi kita begini-begini saja”. Saya ingat kembali jawaban mas penjual cendol.

Iyah juga.  Tapi, mari kita tetap optimis dan mendoakan usaha mas penjual cendol, kelak bisa lebih meningkat.  Sebuah peningkatkan yang kita harap bisa berjalan seiring dengan capaian-capaian yang digapai para elit dan oligarki yang bekerjasama pada setiap proses politik. Yang selalu meningkat dari sisi  omset, kekayaan, dan tanah-tanah mereka.(*)

 

 

 

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*