Editor 7 Februari 2023

Penulis : Abdul Chalid BP, S.IP, M.Si : Dosen Ilmu Politik, Fisip UTS Makassar

“Kita mengharapkan makan malam bukanlah dari kemurah-hatian tukang daging, juru masak, atau tukang roti, melainkan dari perhatian mereka terhadap kepentingan mereka sendiri. Kita menunjukkan diri kita sendiri, tidak pada kemanusiaan melainkan pada kepentingan diri mereka, dan tidak pernah bicara pada mereka tentang keperluan-keperluan kita melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.” (Adam Smith) *

Moralitas dan Modernitas di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme. Begitu judul buku yang rumit dari Ross Poole. Ia adalah dosen filsafat moral di Macquarie University, Australia. Buku yang terbit di tahun 1993 itu merupakan kritik terhadap modernisme yang tampak,  bagi dia, kian menepikan manusia dari moralitas dan hakikat kemanusiaannya itu sendiri.

Meski memakai perspektif nihilisme dalam mengkritik habis modernitas barat, dibaca dari pandangan-pandangannya, Ross bukanlah pengikut Nietzche, penegak filsafat nihilisme yang viral dengan pikirannya, “manusia membunuh Tuhan” itu.

Saya membaca bukunya, Ross juga mengkritiknya. Dengan berbagai dalih. Dan, ia lantas menawarkan sebuah sintesa baru dari moralitas modern, yang sayangya juga tak mengambil dari agama dan budaya sebagaimana Emmanuel Kant. Ia mengaku Kantianisme. Tapi tak mengikuti pandanganya. Lalu dari mana? Tapi mungkin, kita bisa membahas hal ini pada kesempatan yang berbeda nantinya.

Bukan itu inti pembahasan kita saat ini. Perhatian saya adalah apa yang ia tunjukkan dari modernitas, yang Ross mulai dari tesis Smith, bahwa  manusia  modern pada akhirnya akan selalu mementingkan dirinya sendiri. Dalam benak dan pikiran mereka. Saat mau bertindak, mungkin hanya sedikit, dan bahkan mungkin tak ada keperluan kita, tapi hanya keuntungan-keuntungan bagi mereka.

Kesimpulan itu bagi Ross adalah gagalnya modernitas barat merumuskan sebuah sumber moral baru bagi masyarakat modern.

Pandangan Smith perlu diuji secara akademis. Ya, di masanya. Namun, waktu sudah berlalu sekian lama. Dan, sejak masa Smith dan pemikir-pemikir di eranya, yang kurang lebih merekam perubahan perilaku serupa, yaitu perilaku masyarakat di barat dari masa ke masa, maka pandangan itu kini telah diterima sebagai sebuah kebenaran dalam arena ilmu pengetahuan.

Fenomena masyarakat modern awal juga mula dari pewarnaan atau konfigurasi model-model kehidupan bernegara di era kontemporer. Tak hanya melahirkan Smith yang meligitamasi masyarakat dan sistem ekonomi kapitalisme yang sedang berlangsung seiring industrialisasi di Barat, tapi juga melahirkan bapak sosialisme, Karl Marx dengan karya besarnya, Das Kapital.

Sistem produksi pada dunia industri melahirkan struktur ekonomi yang melahirkan pula kelas sosial. Mereka yang menguasai modal dan alat kapital disebut borjuis oleh Marx. Mereka konsumtif dan memperkaya diri. Sementara dibawah mereka ada para pekerja atau buruh didaulat Marx sebagai kaum proletariat. Mereka hidup dari upahnya sebagai pekerja pabrik, cukup kebutuhan sehari-hari saja, tak punya keuntungan secara ekonomi.

Pemikiran Smith dan Karl Marx yang membentuk corak negara-negara dunia saat ini. Ada mereka yang dikenal sebagai negara liberal, menganut kapitalisme modern. Ada pula yang sosialisme modern. Varian dari keduanya juga ada, yaitu sosial demokrat.  Dan, di luar itu, model negara monarki juga masih bertahan.

Di beberapa abad lalu, pemikiran bahwa masyarakat yang dimaksud Smith di luar dari masyarakat yang diimpikan Marx, yaitu masyarakat sosialis. Tapi tampaknya, itu tak berlaku hari ini.

Sosialisme yang dalam ajaran Marx sebagai antitesa terhadap kapitalisme, pada praktiknya, kini juga telah lebih layak disebut sosialis kapitalis. Barangkali, negara yang paling dekat mewakili pikiran Marx yaitu negara berhaluan komunis seperti Rusia, Cina, Vietnam, dan beberapa negara di Amerika latin.

Bisa kita lihat, bagaimana tatanan ekonomi dan sosial masyarakat Cina misalnya. Kita semua bisa menyaksikan, bagaimana negara yang dikenal sebagai raksasa ekonomi dunia itu berkembang saat ini. Apakah di sana,  kapital dapat diakses secara setara oleh kaum proletariat? Tentu tidak.

Mungkin! Kondisi inilah yang dimaksud oleh Ross bahwa masyarakat modern dengan moralitasnya yang bias, sesungguhnya berada dalam bayang nihilisme. Apakah itu masyarakat di negara demokrasi nan liberal, komunis, monarki absolut, yah… sama saja. An sich, hidup adalah pemenuhan kebutuhan manusia sebagai individu.

Meskipun menjadi pribadi yang kaya tak dilarang. Namun, seringkali sebagai komunitas sosial, tanggung jawab sosial yang kolektif dibutuhkan. Tanggungjawab sosial sebagai manusia yang dalam ajaran Islam misalnya, dikenal sebagai konsep zakat.

Mirisnya, masyarakat modern, terutama di barat, terlanjur menepikan agama dan budaya sebagai basis moral. Meski pada perkembangannya, para ilmuwan barat sangat menyadari pentingnya hal tersebut, sehingga mulai mengarahkan ilmu pengetahuan sosial pada pendekatan-pendekatan perilaku yang berbasis sosiologis.

Lalu bagaimana dengan masyarakat di negara-negara yang masih mengenal agama? Miris juga, perilaku modern, yang mencakup gaya hidup, tampak memiliki penetrasi kuat. Toh, sebagian juga mulai menilai agama adalah masalah privat.

Sekuler. Katanya, agama yang idealnya adalah basis moral dalam bertindak, tidak dalam ranah publik. Jadi, jangan heran bila pada beberapa negara dengan penduduk mayoritas beragama, sebagian diantaranya tak dapat mengendalikan diri atas hasrat pemenuhan kesenangan pribadi yang berlebihan ini.

Itu terjadi pada semua lapisan masyarakat. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat umum, diantara ciri agama tak jadi basis moral lagi dalam berperilaku adalah fenomena buang sampah sembarangan. Ketidakpedulian pada lingkungan alam. Pada arena sosial, masyarakat perkotaan kian individualistik.

Pada kekuasaan dan pemerintahan, penyalagunaan wewenang adalah yang diwaspadai semua pihak.  Banyak negara mengalami dialektika politik karena penyakit kekuasan ini.

Di Indonesia sendiri, gerakan reformasi muncul pada tahun 1998 sebagai antitesa hidup negara yang otoritarian, dan sarat kolusi, nepotisme serta korupsi para pejabat publik.

Sebab itu, tuntutan gerakan reformasi kala itu diantara yang utama adalah menumpas praktik-praktik tersebut dari tatanan pemerintahan di Indonesia.

Perubahan politik terjadi. Namun sayangnya,  KKN yang membelit era orde baru hanya mengalami transformasi ke jejaring politik lebih luas, yaitu oligarki dan mafia ekonomi di masa pasca reformasi.

Apa lacur, sebagian pejabat publik di negeri tercinta ini terlanjur hanya memahami modernitas dari dari gaya hidupnya saja. Dalam artian, hanya mengambil ciri masyarakat modern yang diutarakan Smith, yang mencari keuntungan pribadi saja. Masyarakat utilitarian. Hedonis atau berorientasi pada kebahagiaan atau kesenangan pribadi. Borjuis kata Marx. Parahnya lagi, mereka tak malu-malu memanfaatkan dan menyalagunakan wewenangnya dan mengambil untung dari dana publik.

Eksistensi hidup antara pejabat publik demikian akhirnya tampak sangat terpisah jauh dari kondisi masyarakat sekitarnya, yaitu masyarakat yang tak henti ditimpa krisis.

Di tengah kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang rata-rata di bawah standar hidup menengah masyarakat negara maju, kita seperti kehilangan kepekaan terhadap krisis. Sense of crisis.

Lihat saja kenyataannya. Di masa krisis ekonomi yang disebabkan pandemik, rakyat Indonesia seolah menjadi penanggungjawab atas segala beban ekonomi yang dialami negara. Tarif listrik, BBM, harga bahan pokok, pajak kendaraan, pajak pendapatan dan lain sebagainya mengalami kenaikan. Sementara di sisi lain, pejabat publik mendapatkan banyak fasilitas dan sebagian diantaranya diam-diam mengambil keuntungan secara ekonomi dari kewenangan jabatannya. Kasus terbaru adalah limpahan harta pegawai pajak di bawah kementerian keuangan itu.

Tentu, ada banyak lagi fenomena ini di sekitar kita sehingga di negeri ini, ada petuah liar yang berkembang, “tak ada makan siang yang gratis”. Istilah itu adalah cara publik memotret perilaku hidup maruk yang mulai menjangkiti sebagian masyarakat kita.

Lamat-lamat, hidup dari korupsi itu telah menjadi habit. Praktik seperti ini sudah umum terjadi, dari tingkat rukun tetangga, desa hingga pusat. Seperti istilah, sudah berurat berakar. Wallahu ‘alam bissawab (*)

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*