Editor 10 September 2022

Oleh Yanuardi Syukur

“Akan tetapi, meskipun dihormati bak seorang raja, ia merasa dirinya serupa lilin, yang termakan oleh nyalanya sendiri, tanpa cukup mampu memancarkan cahaya.”

–Paragraf ketiga “Kelahiran Majnun”, Layla Majnun

Manusia selalu mengumpulkan materi selama nafas masih ada. Dapat satu, masih kurang, dan mau tambah lagi dua, tiga, empat, dan seterusnya. Keinginan yang tak ada habisnya.

Imam Syafi’i mengingatkan bahwa tak ada yang abadi, baik itu kesedihan atau kebahagiaan di dunia ini:

وَلاَ حُزْنٌ يَدُومُ وَلاَ سُرورٌ
ولاَ بؤسٌ عَلَيْكَ وَلاَ رَخَاءُ

“Tak ada kesedihan yang kekal,
tak ada kebahagiaan yang abadi.
Tak ada kesengsaraan yang bertahan selamanya,
begitu juga kemakmuran.”

Ketinggian, kedalaman, keluasan, dan semua jenis kekuasaan hendak dikejar manusia untuk membahagiakan dirinya.

Orang alim menyebutnya: “mengejar dunia.” Sebuah syair berkata, “Bangsiapa Allah tujuannya niscaya dunia akan melayaninya, namun siapa dunia tujuannya niscaya kan letih dan pasti sengsara diperbudak dunia sampai akhir masa.”

Apakah tidak boleh “mengejar dunia”? Tentu saja boleh, bahkan dunia bagian dari akhirat. Artinya, bagaimana kita di akhirat sangat ditentukan oleh bagaimana kita di dunia. Agama mengajarkan visi: “bahagia di dunia” dan “bahagia di akhirat.” Pada masa “yang akan datang” dan masa “yang sekarang” kita diajarkan untuk mengejar kebahagiaan.

Kebagiaan yang paling puncak, tertinggi, atau tujuan paling mulia adalah kebahagiaan mencintai Sang Pencipta kita. “….that the end of happiness is love of God,” meminjam frasa Syed Naquib Al Attas dalam Prolegomena (1995). Kita mencintai Sang Pencipta kita, sebab kita “berutang” dan cara membayar hutang itu adalah dengan berbuat baik setiap waktu sesuai petunjuk-Nya.

Kebahagiaan dunia dapat diperoleh manusia melalui banyak cara. Mulai dari cara yang benar, bermoral sampai yang tidak benar, tidak bermoral. Orang bisa kaya raya, jadi penguasa, jadi manusia paling populer, dan seterusnya. Akan tetapi, itu semua tidak sejati, sebab pada masanya akan memudar juga, dan akan berganti dari satu orang ke orang lainnya.

Agama mengarahkan kita agar memasukkan unsur niat, cara, dan makna dari gerak hidup kita. Kita bekerja niatnya apa? Jika niatnya untuk menghidupi diri, keluarga, membahagiakan orang tercinta itu pastinya sangat mulia. Tapi, niat saja tidak cukup. Ada lagi cara. Cara mendapatkan materi itu apakah halal atau haram? Setelah itu, dialokasikan kemanakah sesuatu yang telah diperoleh itu?

Sebagian orang yang saya temui biasa bilang begini, “…Saya sama sekali ngga akan mau kasih makan anak dan istri saya dari uang haram.” Mendengar itu, saya jadi tafakkur, alangkah betulnya ucapan itu. Kenapa? Sebab harta haram itu akan merusak jiwa kita. Buya Dr. Yahya Zainul Ma’arif, pengasuh Pesantren Al Bahjah Cirebon, mengatakan harta haram itu akan berdampak pada kecerdasan batin anak: “Hidayah dari Allah jauh, ingin berbuat baik susah,” katanya.

Sufi tertentu betul-betul menjaga dirinya dari yang haram, termasuk yang “meragukan” atau syubhat. Itu mereka lakukan sebab ingin betul-betul menjaga fitrah dirinya, agar hatinya itu terus terpaut kepada Allah dan tidak tercemar dengan noktah dosa.

Tapi, adakah manusia yang sepenuhnya utuh benar dalam perjalanan hidupnya? Kita yang biasa menyebut diri “manusia biasa” sudah pasti banyak salahnya, banyak khilafnya. Agama mengajarkan adanya pintu taubat. Taubat itu selalu terbuka waktunya. Kapan saja orang mau bertaubat dari dosa-dosanya, Tuhan membuka dan Dia-lah Sang Maha Penerima Taubat.

Mengejar dunia tidak akan pernah usai. Makin dikejar makin kehausan, ingin minum lagi berterusan. Kehebatan dunia, popularitas, nama baik, ketinggian posisi, keunggulan kapasitas, penghormatan, kekayaan, itu semua jangan membuat kita lupa dengan Sang Pencipta.

Sang Pencipta selalu beri pesan kepada diri sebagai “alam kecil” (mikrokosmos) dan “alam besar” (makrokosmos) tentang fenomena kehidupan kita yang tidak sia-sia, yakni pasti ada maksudnya. Allah SWT berfirman:

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِم ۗ مَّا خَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَآ إِلَّا بِٱلْحَقِّ وَأَجَلٍ مُّسَمًّى ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ بِلِقَآئِ رَبِّهِمْ لَكَٰفِرُونَ

“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.” (QS. Ar-Rum: 8 )

Mengejar kebaikan sebaik-baiknya, namun jangan lupa mengeluarkan hasil itu selekas-lekasnya. Jangan tumpuk-tumpuk kebaikan, sementara ada hak orang lain yang seharusnya ditunaikan. Hak orang lain bisa berupa harta kita, pengetahuan kita, atau mungkin yang sederhana: sapaan kita.

Seperti paragraf ketiga karya pujangga sufi Persia, Nizami Ganjavi (1141-1209) di atas, manusia sangat mungkin sukses dan dihormati seperti raja diraja, tapi jika jiwanya kosong dari iman dan makna hidup maka hidupnya akan terasa seperti lilin saja. Dia memberi nyala kepada sekitar tapi dia sendiri termakan oleh nyala itu.

Imam Syafi’i, dalam diwan-nya lagi, menulis:

“Siap kali waktu itu mendidikku,
setiap kali itu pula aku melihat segala kekurangan akalku.
Setiap kali ilmuku bertambah,
setiap kali itu pula kebodohanku bertambah.”

Saat ramai tepuk tangan orang, kekosongan jiwa itu mungkin tidak terasa. Tapi, suatu waktu saat duduk sendirian, dia akan merasakan bahwa ada yang salah dari caraku menjalani hidup. Apakah segala kehebatan ini tujuan hidupku? Apakah maknaku sebagai manusia? Pada situasi yang lain, krisis, orang akan lebih dalam menemukan suara hatinya, menyadari kealpaan diri.

Jika kesadaran diri itu mungkin, selanjutnya adalah gerak hati untuk berubah. Ada yang mau berubah, tapi ada juga yang pesimis, seakan-akan tak ada harapan lagi. Padahal, selama hayat masih milik kita, selalu ada kesempatan untuk berubah, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri pada Sang Pemilik Jiwa dan Penguasa Segala Alam Raya.

Syaratnya, jika boleh diucapkan: rendahkan dirimu, sadarilah bahwa di awal hidupmu dulu juga bukan siapa-siapa kok, seorang makhluk lemah nggak tahu apa-apa, yang kini diuji dengan kejayaan, kekuatan, kelebihan dan tepuk tangan. Bukalah pintu hatimu.

Nasihat bagi sesama, jika nasihat masih boleh disampaikan: Selalulah merendahkan diri ke hadapan-Nya, memohon petunjuk-Nya agar dijauhkan dari sifat-sifat buruk yang tersirat maupun tersurat dan mendapatkan bahagia di dunia dan kelak, insya Allah, di akhirat.

Depok, 10 September 2022

Foto sebagai ilustrasi pencapaian manusia.

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*