
Celebesupdate.com-Pandemi Covid 19 membawa pengaruh besar bagi kehidupan perekonomian masyarakat kita, yaitu melemahnya daya beli masyarakat karena sektor industri, usaha dan jasa informal nyaris “mati”. Penyebaran virus Covid yang berlangsung cepat, memaksa pemerintah membatasi rutinitas sosial dan kegiatan perekonomian.
Di Kota Makassar, salah satu sektor jasa yang cukup menderita di masa pandemi adalah jasa angkutan kota atau dikenal dengan istilah “pete-pete”. Pembatasan sosial yang berlangsung secara efektif selama dua tahun, membuat “pete-pete” serupa pepatah, “hidup segan, mati tak mau”.
Penumpang sepi. Dan, di saat yang sama, pemerintah yang berusaha mempertahankan kehidupan BUMN di masa pandemi Covid 19 juga berupaya mengurangi BBM bersubsidi yang berdampak langsung pada angkutan “pete’pete”.
Dengan dalih pengendalian pencemaran udara, Pertamina meluncurkan program langit biru (PLB). Melalui PLB, masyarakat didorong menggunakan Pertalite dengan angka RON 90 yang sesuai dengan spesifikasi mesin modern ketimbang Premium dengan angka RON 88 dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Mesti berbalut bisnis, niat Pertamina dapat dimaklumi sebagai program positif bagi lingkungan. Tetapi, bagi pelaku jasa seperti supir “pete-pete” kebijakan itu sungguh tidak populis. Hidup supir “pete-pete” tertekan sebenar-benarnya tertekan. Kalau bisa dianalogikan, hidup supir pete-pete di masa pandemi ini, bernasib seperti pisang epe. Pipih karena tekanan berat atas-bawah.
Persoalannya, harga pertalite 7.500 rupiah perliter, selisih seribu rupiah lebih di atas harga premium yang hanya 6.450 rupiah sebelum dikurangi.
Selisihnya hanya seribu lebih, tetapi bagi supir “pete-pete” nilai itu cukup berarti. Tapi begitulah adanya. Mereka seolah tak punya pula pilihan hidup yang banyak. Hanya “pete’pete”lah sumber penghasilannya. Pilihan berat lain yang mesti ditempuh adalah melakukan penyesuaian harga tarif angkutan.
Masalahnya lagi, menaikkan tarif angkutan tak seperti membalik telapak tangan. Selain dibicarakan dengan pemerintah atau Dinas Perhubungan, juga mesti menimbang-nimbang daya beli masyarakat yang juga terdampak di masa pandemi Covid 19.
Tapi sepertinya, hanya itulah jalan satu-satunya agar “pete-pete” tetap hadir melayani masyarakat umum. Walau sepertinya bertaruh, jalan itu setidaknya yang telah ditempuh supir angkutan dari Sentral-Takalar dan Gowa-Sentral baru-baru ini.
Agas aspirasinya diterima pemerintah, para supir angkutan mogok di terminal Mallengkeri, Makassar pada 3 November 2021. Mereka menuntut agar tarif angkutan di trayek mereka dinaikkan sebesar 2 ribu rupiah.
Para supir tersebut mengaku, terdesak dengan kebijakan Pertamina yang “memaksakan” Pertalite ke masyarakat. Ketua Organda Makassar, Sainal Abidin (51) yang datang ke lokasi mogok, menjelaskan bahwa tuntutan supir untuk menyesuaikan tarif karena langkanya premium.
“Harga tarif selama ini selalu disesuaikan dengan operasional angkutan, terutama dari sisi penggunaan bahan bakar. Sekarang angkutan dipaksa menggunakan Pertalite maka secara praktis pula berpengaruh ke tarif angkutan.”
“Kami sebagai ketua Organda Kota Makassar, sangat mendukung program langit biru yang dicanangkan Pertamina melalu Kementerian Lingkungan Hidup. Bahwa salah satu penyebab pencemaran udara adalah premium. Makassar menjadi salah satu daerah uji coba.”
“Oleh karena itu, pada saat itu diterapkan kami meminta kepada Pertamina, satu jalur, satu SPBU yang bisa melayani anggota kami dalam pembelian premium. Ini untuk mempertahankan tarif angkutan. Tetapi karena kuatnya alasan PLB itu, kami diberikan hanya 4 SPBU yang bisa melayani premium.
“Masing-masing SPBU di depan Polda Sulsel, SPBU di Jalan Abdullah Daeng Sirua, SPBU depan pasar Pannampu, dan SPBU depan Asrama Mattoanging, Jalan Cenderawasih. Ada dua SPBU di Tanjung Bunga, tapi khusus untuk nelayan.”
“Namun apa yang menjadi komitmen kami bersama Pertamina itu tidak berjalan. Bahwa untuk mempertahankan tarif, kami harus mendapat akses premium di SPBU dengan catatan, dari pukul 6 pagi sampai pukul 12 siang. Di SPBU itu yang kami tetapkan bersama, tidak boleh ada plat hitam atau kendaraan pribadi yang mengisi di jalur itu.”
“Tetapi Pertamina tidak mengindahkan itu, baru pukul 6 pagi, plat hitam sudah penuh. Sementara anggota kami tidak mendapat bagian. Daripada lama mengantri panjang, pad akhirnya tidak mendapat bagian di ujungnya, anggota kami terpaksa mengisi dengan pertalite,”ungkap dengan panjang lebar.
Sainal mengaku sudah mencoba menyampaikan hal ini di rapat dengar pendapat bersama DPRD. Tetapi menurutnya, Pertamina di RDP mengatakan tidak sanggup mengatur SPBU untuk melarang pengisian mobil pribadi.
“Nah, pertanyaannya. Yang disubsidi ini, mobil Alpard, Xpander, atau plat kuning? Banyak ditemui di lapangan seperti itu. Hanya saja kan, kami tidak punya hak melarang. Hanya Pertamina yang memiliki kewenangan itu.”
“Pertalite sangat memberatkan buat para sopir. Di sisi lain, penumpang sangat berkurang di masa pandemi. Mau tak mau, penyesuaian tarif harus dilakukan. Dan, dilakukan secara proporsional atau secukupnya karena situasi pandemi saat ini yang melemahkan daya beli masyarakat. Jadi supir hanya berusaha bertahan hidup saja di masa pandemi ini. Yang penting bisa beli kebutuhan keluarga dalam sehari,” terangnya.
Aksi para supir yang memaksa penyesuaian tarif sebenarnya bak buah simalakama. Di masa pandemi Covid 19 ini, daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah juga tengah terpuruk sehingga kenaikan tarif angkutan bisa menjadi beban baru bagi mereka.(*)