Editor 30 Januari 2021
Shaela Mayasari

Saya mulai akrab dengan brand ‎oini sejak 5 tahun an terakhir. Pasca menikah. Kebetulan toko offline nya yang berada di kawasan mall tidak jauh dari rumah kami di Maros. Dan beberapa produknya sering kami kantongi, terkhusus untuk kebutuhan Paksu. Tak muluk-muluk, karena pelayanannya ramah, pegawai-pegawainya muda dan energik. Cari size lain ataukah barang baru yang masih tersegel, secepat kilat mereka ke gudang. Pun jika barang yang kami cari tidak ready, mereka akan memasang senyum bersahabat dan meminta kami untuk mengunjunginya beberapa waktu lagi. Harganya pun terbilang cukup terjangkau dan worth it terhadap kualitasnya.

Namun, sejak remaja hingga di bangku perkuliahan. Saya melihat brand Eiger ini punyai loyalis militan. Tak jarang, saya mendapati orang dengan memunggungi tas Eiger (maaf) sudah memudar tapi tetap kokoh di punggungnya tanpa jahitan yang cacat sesentipun. Dipakai berhari-hari. Belum sandal khas Eiger yang sudah menipis dipakai menahun ( pengalaman paksu juga😉) tapi tetap kuat dipakai, tanpa keraguan akan putus sekalipun dipakai lari beberapa km. Saking mengisyaratkan sekalipun brand lokal, tapi kualitasnya juara. Gak kalah saing dengan merk luar. Pernah juga saya mendapat anak-anak yang merengek ingin dihadiahi hanya tas Eiger untuk kebutuhan sekolahnya. Apalagi zaman now, dimana lifestye orang telah masuk di era leisure economy. Dimana pola konsumsi orang banyak bergeser ke hiburan dan rekreasi. Bukti konkrit, di masa pandemi sekalipun, makin jamak kita jumpai orang bersepeda, berlari, dilakukan berkelompok. Tentunya dengan ditopang atribut outdoor yang kece dan fashionable. Eiger termasuk di kelompok atas, brand yang konsisten menyediakan segala pernak-pernik outdoor. Dari kaum ‘sepedaan’ hingga kaum ‘pendaki’.

Namun beberapa hari terakhir, citra positif Eiger tercoreng oleh ulah oknum manager localnya. Entah karena begitu jumawa dan kePEDEan karena menjelang 3 dekade eksistensinya di masyarakat, dan dengan ratusan toko offline yang menyebar di seantero negeri, seorang youtuber yang merupakan pelanggannya dikritik dan disurati personal, karena telah me-review produk Eiger tanpa memperhatikan standarisasi khusus yang diinginkan Eiger. Fatalnya, konten video tsb diminta dihapus oleh pihak Eiger.

Padahal u know? Youtuber tersebut saya yakini mengulas dengan sejujur-jujurnya produk Eiger. Tak ada yang menunjukkan ‘tone’ negatif dalam video youtubenya. Ia sangat puas dengan kehadiran produk kacamata Eiger yang bisa mengakomodir wajah tambunnya tetap tampil modis dan nyaman saat sepedaan.
Kenapa saya yakini sang youtuber jujur. Ia tidak diendorse se-sen pun. Dan tidak memiliki ikatan kekerabatan dengan petinggi Eiger. Ia membeli produk Eiger murni pakai duit pribadinya. Dan sebagai konsumen yang memang memiliki hak untuk berkomentar terhadap barang yang dibeli. Ia tentu bermaksud hati menyampaikan nilai plus barang tersebut. Sangat informatif malah. Dan sepatutnya, Eiger pantas berterimakasih sebab mesin marketingnya tetap jalan dari pihak eksternalnya. Tanpa mengeluarkan biaya sama sekali. Apalagi jika yang menonton memang membutuhkan barang serupa. Yah ibarat kata, sebenarnya ini simbiosis mutualisme. Pelanggan puas dan jujur dengan produknya, produsen dalam hal ini Eiger harusnya berterimakasih juga karena penilaian positif konsumen plus kontennya yang berbau persuasif ke khalayak. Menang banyak malah Eiger.

Sepertinya, pembuat surat tersebut tidak percaya the power of ‘dari mulut ke mulut’. Terkadang konsumen membeli sesuatu dari rekomendasi orang sekitarnya. Abang bakso yang jualan di kaki gunung sekalipun, jika ‘the power of dari mulut ke mulut’ nya jalan. Ia tak perlu capek-capek ngeluarin cost untuk pemasarannya. Pecinta bakso akan menyemutinya. Terlebih zaman now kayak gini, dilengkapi dengan ‘the power of netizen’. Dalam hitungan sedetik, produk seseorang bisa booming (laku keras), sebaliknya bisa jatuh berujung gulung tikar.

Di era maju saat ini ditambah awan pandemi masih bergelayut, betapa banyak pemilik bisnis besar, menengah, hingga kecil mengeluarkan biaya tak sedikit agar produknya diendorse oleh influencer. Sebab fakta berbicara, menyerahkan produk diulas oleh influencer dengan followers banyak, dirasa paling efektif untuk memperpanjang nafas bisnis. Model pemasarannya paling pas saat ini, dimana medsos dan gadget menjadi kebutuhan prioritas setelah makanan.

Hhmm saya penasaran apa skenario berikutnya yang akan diambil Eiger. Apakah ia tetap meratapi ke-blunderan oknumnya sekalipun telah melayangkan permohonan maaf. Atau menjadikan ini sebagai titik balik, membuat satu gebrakan disaat semua mata melihatnya dan namanya menjadi trending topic di jagad maya..
Minimal mengambil empati publik dan loyalisnya yang sudah terlanjut menggoreskan kalimat “Ahhh tidak mau lagi belanja merk Eiger, kan ada merk bla bla lain.” Atau mengembalikan perasaan youtuber yang telah menyokongnya, namun kini terlanjur sakit hati karena videonya secara tidak langsung ‘dicallai’, dianggap menggunakan resolusi biasa dan pengambilan angle yang tidak ciamik, ditambah bising-bising yang sangat mengganggu. Yah wong wajar aja, orang gak ada perjanjian memang barangnya akan direview secara profesional. Hahahha. Kasih kek beberapa produk yang high quality sebagai permohonan maaf misalnya. Yayayyayaa😜

Dari Eiger, kita belajar pentingnya mengucapkan terimakasih pada jasa orang-orang yang membantu, sekecil apapun perannya, sekecil apapun bantuannya, dan sekecil apapun namanya. Bukan sebaliknya.

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*