Editor 5 Januari 2021

Penulis : Abd Chalid BP, Pemred Celebesupdate.com

“Penundaan membuat segala yang terbaik dari kita; merusak pekerjaan, kebahagiaan dan kesehatan. Tapi teori baru bisa memberi kita cara mudah untuk menghentikan  kebiasaan itu.” 

David Robson, penulis The Intelligence Trap: Revolutionize Your Thinking and Make Wiser Decisions, mengawali artikelnya di bbc.com dengan dua kalimat solutif di atas. Saya tertarik dengan tulisan David itu. Saya seperti menemukan diri saya di dalamnya.

Saya merasa bagian dari orang yang diulas David, yang suka menunda-nunda, meski tak parah-parah amat. Ini penyakit! Meminjam istilah orang Papua, hehe.

Bagi anda yang suka menelusuri informasi dunia daring, anda tentu bisa mengakses dan membacanya langsung di laman portal berbasis di London tersebut. Di sini, saya hanya menukil-nukil saja bagian pentingnya.

Kebiasaan menunda, mungkin tak selamanya buruk bagi sebagian kecil orang. Dan, tak mengurangi secuil pun kebahagiaanya. Bahkan, bisa jadi kebiasaan menunda itu membuat mereka merasakan bahagia, hehe.

Tetapi hampir sebagian besar manusia yang hidup dalam komunal, yang terikat dalam tatanan dan sistem, menilai penundaan adalah kebiasaan buruk.

Dianggap buruk dalam perspektif psikologi karena berimplikasi pada penurunan produktifitas kerja. Juga dapat mengganggu tatanan yang dibangun bersama.

Pada titik tertentu, penundaan bisa menjadi padanan rasa malas. Kalau dalam istilah gaul anak-anak Makassar, SamaJi, sepupu sekali. Ya, bedanya tipis-tipis saja.

Dalam ajaran agama, semisal ajaran Islam, kebiasaan ini dapat dikategorikan sebagai kebiasaan malas, tak bersungguh-sungguh. Ajaran samawi seperti agama Islam menganjurkan penganutnya untuk bersungguh-sungguh dalam pekerjaan dan perbuatan baik lainnya.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Insyirah 1-7, “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. 

Nabi Muhammad SAW menegaskan ajaran Islam tersebut.  Dalam sebuah Hadits dari Ibnu Umar menyebutkan, “Rasulullah SAW pernah memegang bahuku sambil bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara.’ ‘Kalau datang waktu sore jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu’.” (HR. Bukhari)

Sejalan dengan ajaran Islam di atas,dalam pandangan ilmiah, kata David di tulisannya, prokrastinasi alias penundaan adalah penghalang utama yang mencegah perubahan positif. Dan, berdasarkan penelitian, orang yang suka menunda-nunda kronis cenderung tidak memiliki pekerjaan permanen, dan mereka yang memiliki pekerjaan memiliki pendapatan yang jauh berkurang, berpenghasilan setidaknya $ 14.000 lebih rendah daripada rekan mereka yang lebih proaktif.

Ia juga menyebut orang yang suka menunda-nunda juga kesulitan mencari waktu untuk berolahraga, karena mereka akan selalu menunda aktivitas fisik untuk hari lain.

Dan, berkat kekacauan umum yang muncul karena terus-menerus menghindari tugas-tugas penting, mereka cenderung merasakan tingkat kecemasan yang tinggi. Hasilnya adalah peningkatan risiko penyakit kronis, termasuk penyakit kardiovaskular. Wuah, parah guys… …

Bagaimana keluar dari kebiasaan ini? David mengangkat hasil penelitian mutakhir oleh Jason Wessel dalam tulisannya. Sebagai bagian dari PhD di Griffith University di Queensland, Australia, Wessel katanya mengembangkan sistem yang terdiri dari empat “titik refleksi” sederhana yang menargetkan akar psikologis dari masalah.

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*