Annisa 12 Oktober 2020

Oleh : Desi

Tepat dihari pertama sebuah Surat Keputusan dari Kementerian mengantarku menuju Kota Ainun-Habibie, Parepare. Sekitar 150 kilometer di sebelah utara Kota Makassar. Suasana masih gelap, hujan sebagai rahmat rahimNya, membersamai di setiap perjalanan menuju sudut-sudut kota.

Dari satu kota ke kota lain, dari satu perbatasan ke perbatasan lain.
Sorot lampu jauh kunyalakan ketika samar kulihat mobil pick-up warna putih posisi melintang, menjadikan jalanan 2 ruas hanya bisa dipakai setengah ruas.

Pelan ku kemudikan kendaraan, semakin dekat semakin jelas, bahwa mobil tersebut habis menabrak pohon di pinggir jalan dan bodi mobil terhempas di tengah jalan menghalangi laju kendaraan lain melintas. Jalanan yang tinggal setengah ruas, ternyata masih bisa ku lewati dengan hati-hati.

Aku melanjutkan perjalanan. Namun betapa terhenyaknya aku, ketika kulihat beberapa orang mulai berlarian menuju mobil pick up tersebut, Aku yang sudah lewat seratusan meter baru konek. Waduw??? Itu berarti kecelakaannya barusan terjadi?

Dan penumpangnya belum keluar dari kendaraan? “Ya Rabbii… aku telah tega meninggalkan mobil pick-up itu, siapa tau penumpangnya butuh bantuan”, aku membatin.

Ku pinggirkan kendaraan, terlihat dari sepion kanan 2 buah mobil berhenti memberi pertolongan, demikian juga warga sekitar. Aku yang seperti orang linglung, hanya mendoakan mudah-mudahan penumpangnya gak kenapa-kenapa, selamat sehat wal afiat sambil pelan-pelan kulajukan kendaraan.

Doa itu terus menerus ku panjatkan sepanjang perjalanan untuk mengurangi rasa bersalahku tidak turun dari kendaraan saat itu, dan tentu saja mohon ampunanNya karena telah meninggalkannya dengan kesadaran yang terlambat. (tears-pen)


Tetap kulajukan mobilku dengan kecepatan sedang. 80 kilometer per jam. Rasa was-was dan dagdigdug atas kejadian tadi, sempet melintas membuatku waspada dan penuh kehati-hatian. Ini adalah pengalaman pertamaku mengemudikan kendaraan dalam jarak tempuh yang jauh dan sendirian. Ini juga kali pertama aku melihat kejadian terhempasnya kendaraan ke tengah jalan dengan kondisi pengemudi dan penumpang masih di dalamnya. Aku begidik ngeri. Hiiiiiii…

Satu jam berlalu dari pangkal titik tolak, langit mulai menampakkan diri, pepohonan mulai terlihat hijau, dan sorot lampu mobil sudah tak berarti membantu penerangan. Kubuka kaca jendela mobil disampingku. Angin bertiup dingin menyejukkan, lebih sejuk dari udara AC yang menghantam wajah sejak sejam berlalu. Ada yang menggelitik benak ini, namun tak sempat ku mendefinisikan.

Pelan ku turunkan kecepatan mobil, kaki kanan dan kiri kompak menginjak rem dan kopling. Sementara tak ketinggalan tangan kiri mundurkan tuas persneling ke gigi 2, sambil tangan kanan memutar setir perlahan ke kiri. Fix, mobil bergerak ke tepi jalan dan berhenti dengan sangat manis.


Udara sejuk masih merajai wajah dan tubuhku. Tercium aroma dedaunan dan tanah basah akibat hujan rintik sebelumnya. Ku lempar pandangan ke kanan, mentari mulai tersenyum penuh arti. Jingga..berpadu dengan biru menampilkan warna eksotik sekaligus energik untuk siapa saja yang menikmatinya.

Sepertinya alam sedang bercengkrama pagi ini. Biru dan jingga saling bertatap mesra, sawah keemasan tersenyum malu saat burung pipit mencolek ujung padinya, dua buah pohon kelapa terlihat dari kejauhan seperti siluet makhluk yang sedang bercakap syukur, sementara pohon randu membuka seluas-luasnya untuk cahaya mentari menyentuh pipi dedaunan dengan hangat.

Ku ambil gadgetku, cekrek! Satu bidikan tepat disaat mentari merengkuh semua makhluk dengan warna kuningnya.. Sungguh romantis alam ini. Keindahan dunia yang selalu menjadi nostalgia bagi makhluk hidup bernama manusia.


Ku lirik jam digital di dashboard mobil. Jam 6 kurang. Waktu fingerprint masih satu setengah jam lagi. Aku harus bergegas melanjutkan perjalanan. Ku lajukan kembali mobilku. Kembali bersinergi kedua tangan dan kaki sesuai job masing-masing. Kaki kiri injak kopling, kaki kanan injak pedal gas, tangan kiri naikkan tuas persneling, dan tangan kanan memutar setir ke kanan.

Gigi satu melajukan kendaraan, Disusul gigi dua, tiga, dan tak sabar tangan kiri mendorong tuas ke depan sebelah kanan. Hingga masuklah gigi lima. Tepat di kecepatan 100 kilometer perjam. Jalanan stabil. Sedikit tambalan aspal tak menyurutkan laju kendaraan. Sesekali geser kanan-kiri menghindari lobang-lobang kecil yang berserakan.

Pagi yang buta, rupanya masih membuat warga enggan beraktifitas keluar rumah, sehingga membuat jalanan sepi dan nyaman sekali dilalui.
Sawah, perkampungan, jalanan rel kereta api, jembatan, perkantoran dan banyak sekali pemandangan sekitar yang kulalui. Pas jam 7 wita, sebuah gerbang warna hijau jadi bando di jalanan bertuliskan selamat datang Kota Parepare.

Aku merasa bahwa Kota Parepare telah menunggu kedatanganku, hingga menyapa dengan sangat ramah ‘selamat datang’. Aku tersenyum lega dan lirih ku ucap ‘terimakasih sambutannya’. *

*penulis seorang pegawai yang juga senang pada sastra

2 thoughts on “Kisah Subuh Menuju Parepare

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*