
Dalam executive summary Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Agustus 2020 dilaporkan bahwa COVID-19 membawa efek disruptif skala besar bagi 1,6 milyar pelajar di 190 negara. Unit pendidikan ditutup sehingga menyebabkan 94% pelajar terdampak. Paling memiriskan karena 99%nya adalah unit pendidikan di negara dengan pendapatan rendah sampai menengah bawah. Kejadian ini merupakan fenomena yang tak terbayangkan sebelumnya.
Terkhusus pada pendidikan vokasi yang sistem kurikulumnya memberikan persentase terbesar pada kegiatan praktik dibanding teori. Sekitar 70:30, tentunya merasakan efek luar biasa ketimbang pendidikan berbasis akademik lainnya. Belajar teori lewat daring masih sangat memungkinkan berjalan dengan baik. Interaksi dan serapan ilmu pengetahuan bisa terjalin dengan normal, sebab yang berubah hanya metode tatap mukanya.
Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran praktik yang berlangsung di lab atau workshop. Skill; psikomotorik yang cukup sulit dibangun dengan hanya kuliah daring. Ada teknik yang luput, atau bahkan trik inderawi yang sulit dijangkau jika tak bertatap langsung antara dosen, instrumen dan mahasiswanya.
Kondisi ini tentu membawa pukulan yang berat bagi kampus-kampus vokasi. Beragam cara ditempuh, mulai dari live streaming aktvitas praktik sampai dengan tetap memaksakan kehadiran mahasiswa di laboratorium atau workshop dalam jumlah terbatas dan prosedur ketat. Cara terakhir ini malah membawa masalah baru. Terbentuknya kluster baru berbasis kampus. Dosen terpapar, mahasiswa ikut terjangkit.
Pendidikan modern adalah keniscayaan
Jika menilik sistem pendidikan di belahan negara lain. Negara dengan tingkat kesiapan teknologi digital dan internet yang sudah maju dan tertata rapi. Model pendidikan yang tidak mengandalkan tatap muka langsung atau biasa disebut pembelajarn jarak jauh sudah familiar. Saat corona datang, mereka lebih siap untuk segera berimprovisasi. Meski ini juga ternyata bukan barang yang mudah bagi mereka.
Era digital dan internet yang membuat dunia hampir tanpa batas dan sekat. Kemajuannya pun sebenarnya pasti akan merevolusi model-model pembelajaran yang sudah ada sebelumnya. Ada atau tanpa ada corona. Menurut pakar pendidikan, kejadian pandemi ini menjadikan Indonesia lebih cepat 10 tahun dari prediksi. 2030 diprediksikan sebagai tahun dengan model pembelajaran modern bagi Indonesia.
Menjaga eksistensi vokasi dengan teknologi masa depan
Seperti yang dijelaskan di awal tadi bahwa pendidikan vokasi sebagai yang terdampak cukup berat, namun harus tetap maju dan berkembang. Standar negara maju adalah memiliki SDM vokasi dengan persentase besar untuk mengisi sektor dunia kerja demi produktivitas negara. Apalagi jika Indonesia berkaca dengan beberapa negara Eropa seperti Swiss, Jerman dalam hal pengelolaan pendidikan vokasi (TVET) atau bahkan sesama negara Asia tenggara. Indonesia masih harus perlu berbenah dan menguatkan pendidikan vokasinya.

Menjadi tantangan tersendiri sebab justru di era pandemi COVID-19 ini, pendidikan vokasi malah terpapar hebat juga. Para pakar sudah harus segera mengembangkan dan mengadopsi pembelajaran dengan teknologi masa depan seperti teknologi Artificial Intelligent (AI), hologram interaktif 3D atau Virtual Reality (VR) maupun Augmented Reality (AR) yang kesemuanya merupakan ciri khas dari revolusi industry 4.0. Kelak permasalahan tak mampu bertemu langsung dengan lab atau instrumentasi serta dosen dapat terpecahkan karena mahasiswa tetap dapat melakukan aktivitas praktikumnya dengan bantuan teknologi.