

Diantara ciri utama dari negara demokratis bila sebuah negara itu memiliki sistem pemilihan umum yang melibatkan partisipasi langsung warga negaranya. Pemilihan umum ini adalah sarana untuk menentukan pemimpin yang akan menyelanggarakan pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Kita tahu, bahwa hampir seluruh negara di dunia saat ini telah menganut sistem yang berkembang dari negara-negara barat ini. Termasuk Indonesia yang dikenal sebagai negara kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip negara demokrasi yang dianut Indonesia dianut berdasarkan tafsir dari frase “Kedaulatan di tangan rakyat” dalam Undang-Undang Dasar 1945. Frase ini dituangkan dalam pembukaan dan beberapa pasal. Sebelum masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan pemerintahan orde baru Presiden Soeharto, di tahun 1955, prinsip kedaulatan rakyat ini mulai diimplementasikan dalam Pemilu. Momentum ini dinilai sebagai Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Langsung dan diikuti partai politik dan golongan yang merepresentasekan rakyat Indonesia.
Sistem demokratis ini tidak berlanjut, sebab dihambat oleh dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Dan kita tahu bersama, setelah Presiden Soeharto berkuasa menggantikan Soekarno berikutnya, Indonesia hanya mengenal Pemilu yang diikuti 3 partai. Presiden dipilih oleh perwakilan di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tidak heran, bila akhirnya Presiden Soeharto mampu berkuasa di Indonesia selama sekian periode, dari tahun 1967 dan baru berakhir pada tahun 1998.
Sistem Pemilu langsung baru kembali dilaksanakan kembali di tahun 1999. Sampai tahun 2024, Pemilu yang dianggap demokratis ini setidaknya sudah digelar sebanyak 6 kali. Angka itu segera tercapai pada 14 Februari 2024.
Dengan sistem ini, kita tentu memiliki harapan besar, Indonesia tidak hanya mampu meraih tujuan politiknya saja, yaitu sirkulasi kepemimpinan 5 tahun melalui sistem Pemilu. Melebihi itu, sistem ini mestinya mampu membangun peradaban bangsa ke tingkat yang lebih maju, baik dari sisi politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Sisi Politik
Secara substansi, Pemilihan secara langsung oleh rakyat sebenarnya hanya varian dari banyak cara menentukan pemimpin yang demokratis. Apa yang menjadi inti dari proses ini adalah suara rakyat atau warga negara yang harus direpresentasikan dalam memilih pemimpin. Selama hak politik individu itu terwakili maka tak ada soal. Sebab itu, sistem perwakilan juga dapat disebut secara cara-cara demokratis. Toh, di banyak negara maju, model ini juga tidak sepenuhnya dipraktikkan. Tetapi memang, pemilihan dengan one person one vote sejauh ini memiliki kelebihan dalam pemenuhan hak bagi individu dalam keputusan politik di Pemilu.
Boleh dikatakan, Indonesia saat ini telah mencapai sebagian dari tujuan politik secara prosedural. Kita telah menerapkan sistem politik dengan cara langsung dalam menentukan pemimpin. Dan, cara ini juga disokong oleh sistem kepartaian terbuka atau multi partai.
Bagaimanakah praktiknya dalam kurun waktu terakhir? Sayangnya, sejak 1999, Pemilu di Indonesia masih memiliki banyak catatan buruk. Kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 seperti hanya frasa yang selalu dirapal-rapal saja.
Secara kualitas, sistem Pemilu Indonesia masih jauh dari kata paripurna. Diantaranya, sistem multi partai di Indonesia sejauh ini belum bisa memberikan ruang besar dalam seleksi kepemimpinan. Benar telah memberikan kedaulatan kepada warga negara untuk memilih pemimpin, tetapi tidak dalam menjadi pemimpin.
Pemilu kita belum membuka kran bagi semua anak bangsa untuk ikut bersaing mendapatkan kursi kekuasaan. Belum semua warga negara terwakili oleh partai politik. Di samping itu, partai politik juga sangat transaksional. Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada mereka, yaitu memilih dan menyeleksi calon pemimpin untuk diuji oleh rakyat masih diperjualbelikan. Dan pada akhirnya, tidak banyak pilihan dalam Pemilu.
Sementara itu, prosesnya juga masih sarat dengan politik uang dan kecurangan. Ada banyak data yang dapat mendukung hal ini. Mari kita ketik ketik kata kunci “politik uang”, “kecurangan Pemilu”, suap Pemilu, dan lain-lain di mesin pencarian “google”.
Itu baru prosesnya. Bagaimana lagi bila kita menilik tujuan dari secara tetek bengek demokrasi ini? Yaitu, penyelenggaraan negara yang baik, tranparan dan akuntabel serta bagaimana dengan kesejahteraan rakyat? Saya kira, warga negara yang hidup makmur adalah tujuan semua negara.
Kita masih ingat tiga tuntutan besar reformasi 1998. Lawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Apa yang digaungkan mahasiswa dan rakyat pada saat menjatuhkan rezim orde baru di tahun itu, bukanlah narasi saja. Tuntutan itu adalah pokok masalah yang dianggap memberikan sumbangsih besar bagi kesengsaraan rakyat di era orde baru.
Tiga hal ini memiliki memiliki usia tua dalam sejarah perjalanan bangsa-bangsa yang memiliki sistem kekuasaan. Hampir seluruh revolusi perubahan kekuasaan di dunia berawal dari soal ini. Ia adalah praktik yang selalu berjalan seiring dengan kemiskinan. Bila di elit kekuasaan korupsi, di tengah-tengah rakyat musti ada kemiskinan.
Dalam beberapa catatan lembaga dunia, tahun 2022, Indonesia masih masuk dalam peringkat 100 negara termiskin di dunia (Lihat : https://tirto.id/daftar-negara-termiskin-di-dunia-2023-indonesia-nomor-berapa-gNAu).
Kuatnya korelasi antara KKN dengan kemiskinan ini, mendorong negara kita mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002. Keputusan ini juga sebagai implementasi cita-cita reformasi di tahun 1998. Tapi kita lihat pulalah nasib KPK akhir-akhir ini. Alih-alih memberantas korupsi, anggotanya pun tak lepas dari korupsi.
Sisi Sosial
Sebagai negara dengan latar multi etnik dan agama, apa yang kita harapkan dari aspek ini adalah terciptanya kohesi sosial yang kuat diantara kalangan masyarakat Indonesia. Namun Pemilu memiliki sisi yang kurang konstruktif dalam hal ini.
Transaksi yang mewarnai Pemilu juga turut mendorong warga negara kedalam pragmatisme politik. Take and give, siapa mendapatkan apa sehingga hak politik itu tidak benar-benar digunakan untuk memilih pemimpin yang berkualitas. Soal ini juga menciptakan konflik sosial. Perbedaan pilihan justru tidak membuat sebagian warga negara itu terbuka dalam memandang perbedaan. Sebaliknya, pilihan politik malah berpontensi membentuk sekat-sekat sosial. Bahkan bisa mendistribusikan konflik politik sampai pada tingkat unit sosial seperti keluarga.
Sisi Ekonomi
Realitanya, Pemilu butuh modal besar. Tak hanya pada penyelenggaraannya. Tapi juga bagi pesertanya. Mereka butuh uang membeli kendaraan partai dan membeli suara pemilih. Situasi ini menjadi pintu bagi mereka yang memiliki uang banyak untuk menjadi bandar Pemilu. Tapi seperti petuah orang modern, “tak ada makan siang gratis”.
Pemilik modal rela membiayai peserta tapi dengan catatan, mereka mendapat keistimewaan dalam masalah izin usaha, pajak, dan akses terhadap proyek pemerintah. Jadi bisa dibayangkan, apa yang akan dicapai dalam setiap Pemilu 5 tahun ini. Pemimpin yang terpilih dipastikan akan tersandera kepentingan pemodal. Sementara kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari sistem demokratis tak lagi menjadi perhatian utama.
Dalam pertumbuhan ekonomi kita, sangat wajar bila usaha dan peredaran uang tidak terdistribusi secara merata atau bertumpuk di beberapa tangan saja. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan angka pengangguran dan kemiskinan pada statistik.
Sisi Budaya
Pemilu idealnya bisa melahirkan budaya politik terbuka. Artinya sistem ini akan mendorong setiap individu untuk memiliki literasi politik yang kuat. Mereka sadar pentingnya pemimpin yang bermutu dan berintegritas terhadap kepentingan rakyat.
Syarat lahirnya budaya politik serupa itu adalah pemilih yang berkaratkter. Pemilih berkarakter selalu berangkat dari nilai-nilai yang dipahami. Dari nilai kemudian ke pemikiran, membentuk sikap politik, lalu membentuk perilaku politik pemilih. Tugas tranformasi nilai politik kepada pemilih ini diantaranya dilakukan 0leh partai politik. Namun tugas dan fungsi itu berjalan tidak seiring.
Tidak heran bila Pemilu dalam dekade ini pelan-pelan justru membentuk budaya pragmatis. Kebiasaan menjualbelikan hak suara. Jadi kalau Pemilu tiba, pikiran mereka secara praktis tertuju pada nilai uang. Bagaimana mendapatkan uang dari suara yang diberikan. Politik traksaksional ini terjadi pada berbagai tingkat, baik pada individu maupun secara kelompok.
Apa yang dipertukarkan juga tidak selamanya dalam bentuk uang. Tapi juga dalam bentuk barang dan proyek pembangunan. Perilaku berulang dan terus menjadi kebiasaan.
Pada akhirnya, kita hanya bisa berharap. Pada Pemilu 2024 ada keajaiban yang terjadi. Wallahu ‘Alam… ….
*Penulis merupakan dosen atau pengajar di Program Studi Ilmu Politik, Universitas Teknologi Sulawesi