Editor 23 Desember 2020

 

Abdul Chalid Bibbi P : Dosen dan Produser TV

Sebagai seorang muslim, apa yang anda pikirkan ketika melihat sosok George Floyd? Lelaki Afro-Amerika yang terekam meninggal di bawah tindihan lutut seorang aparat kepolisian di Amerika beberapa waktu lalu.

Peristiwa yang terekam kamera dan disaksikan jutaan mata di seluruh dunia itu telah memicu gelombang aksi unjuk rasa yang disertai kericuhan di negara-negara bagian negeri Paman Sam. Dan, sampai hari ini, aksi masih tetap berlanjut.

Untuk penulis, Floyd mengingatkan pada Bilal Bin Rabah Al Habsy, seorang lelaki mulia yang hidup lima ratusan masehi yang lewat. Se-masa dengan Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam (SAW). Bilal adalah budak yang mengabdi pada tuan-tuan berbeda, orang-orang Arab dari suku Quraisy di Kota Makkah.

Nasibnya sebagai budak ia warisi dari ayahnya yang juga seorang budak. Tawanan yang dibawa dari Afrika dan diperjualbelikan di tanah Arab. Para ahli riwayat menyebut warna kulit Bilal, hitam. Rambutnya keriting dan berpostur tubuh jangkung, laiknya sosok orang-orang Afrika di masa itu.

Floyd dan Bilal Bin Rabah Radhiyallahu Anhu (RA) pada dasarnya bersumber dari latar sosial dan sejarah yang sama, yaitu sama-sama keturunan budak dari Afrika. Hanya zaman dan tempatnya yang berbeda.

Pendahulu Floyd diangkut dari Afrika ke Amerika, diperjualbelikan sebagai budak. Mereka di negara itu seribu enam ratusan hingga seribu delapan ratusan yang lalu adalah properti orang-orang kulit putih.

Hal sama juga dirasakan Bilal yang hidup di tanah Arab, jauh sebelum nenek moyang Floyd tiba di Amerika. Dalam sumber-sumber Islam disebut, Bilal terakhir mengabdi dan terikat pada pedagang kaya di antara suku orang Quraisy, Bani Jumah di Makkah. Umayah Bin Khalaf.

Di masa Bilal, perbudakan telah menjadi tradisi dan bagian dari kehidupan sosial masyarakat di berbagai belahan bumi. Bahkan jauh sebelumnya. Sistem atau tatanan sosial ini sudah berlaku. Budak umumnya adalah orang-orang yang kalah dari kekuatan politik yang lebih superior.

Kemerdekaan mereka dicabut  sebagai manusia yang setara dan bebas sama seperti lainnya. Hidup budak mengalami dependensi secara ekonomi dan keamanan baik secara sosial, terlebih lagi politik.

Dalam relasi patron-klien, budak jauh di bawah seorang klien yang bisa mengabdi secara sukarela pada seorang tuan. Tidak terikat dan bisa berpindah tuan secara mudah. Budak mengabdi lebih karena terpaksa.

Pada masyarakat Arab jahiliyah, atau pra Islam misalnya, seorang budak memiliki pilihan sulit. Mereka bisa bebas dari pengabdian bila mampu membayar kemerdekaannya dengan nilai tertentu. Mereka bisa diperlakukan sekehendak sang tuan.

Kondisi serupa juga berlaku pada masyarakat lainnya, seperti di tengah masyarakat Romawi dan Persia yang memiliki peradaban lebih maju di masa itu.

Latar dan arena kehidupan sosio-politik yang penuh perbudakan, yang penuh penindasan inilah, satu di antara tatanan hidup manusia yang ditantang oleh ajaran Islam. Di tengah masyarakat Mekah, kehidupan ini diwakili Bilal yang menderita sebagai budak.

Penderitaannya itu lebih berat lagi setelah ia memeluk risalah langit yang diemban rasul terakhir, Muhammad SAW.

Atas perintah Nabi, Bilal dibebaskan atau merdeka setelah ditebus oleh sahabat lainnya. Sejarah menyebut nama Abu Bakar Assidiq RA. Sahabat Nabi yang terpercaya itu mendapat misi saat Bilal tengah disiksa keras oleh tuan dan rekan-rekan Quraisy-nya.

Siksaan itu berupa deraan, dipasung atau kerangkeng di pohon kurma, diseret di padang pasir nan terik,  hingga ditimpuk batu sampai nyaris tak bernyawa.

Rasulullah akhirnya menghapus corak masyarakat Quraisy yang jahiliyah, yang termasuk perbudakan di dalamnya itu. Rasulullah Muhammad SAW berseru ketika menaklukkan dan memasuki Kota Mekah ;

“Hai golongan Quraisy! Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan nenek moyang. Manusia itu dari Adam. Sedang Adam dari tanah!”

Dan, Muhammad SAW tak sekadar membebaskan Bilal. Lebih darinya, risalah Islam merombak tatanan perbudakan itu sendiri yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesamanya. Mengembalikan sosio-politik masyarakat kepada ketauhidan. Manusia tunduk hanya kepada Allah SWT.

Muhammad, Rasulullah SAW melakukan segalanya  atas perintah Rabb-Nya yang agung. Allah Subhana Wata’ala, berfirman di dalam surah Al Balad (Negeri):

 “Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah). Dan engkau (Muhammad), bertempat di negeri ini. Dan demi (pertalian) bapak dan anaknya. Sungguh, kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.  Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya? Dia mengatakan, “aku telah habiskan harta yang banyak”. Apakah dia mengira bahwa tidak sesuatu pun yang melihatnya? Bukankah kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, dan lidah dan sepasang bibir? Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar. Dan tahukah kamu jalan yang mendaki dan sukar itu? Yaitu melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang fakir” (Ayat 1-16). 

Bilal yang memeluk Islam di awal penyebaran di Mekah memiliki derajat sama sebagai manusia di hadapan manusia lainnya. Ditunjukkan dengan samanya kedudukan Bilal di sisi Nabi sebagai sahabat yang tak berbeda dengan lainnya. Ia bahkan mendapat kepercayaan dari Rasulullah sebagai muadzin pertama yang hingga kini, namanya selalu diingat dan didoakan oleh umat Islam.

Beberapa ratus tahun setelah kisah Bilal dan masa kenabian Muhammad SAW, kejahiliaan masih terjadi di berbagai belahan dunia. Perbudakan yang ditantang oleh ajaran tauhid masih dipraktikkan oleh bangsa-bangsa superior. Terutama di barat.

Kolonialisasi oleh barat sejak abad 16 hingga abad 21 menempatkan orang-orang berkulit hitam dari Afrika maupun kelompok masyarakat terjajah lainnya berada dalam lingkaran perbudakan.

Hingga hari ini, meski telah runtuh bersamaan lahirnya kemerdekaan bagi negara-negara terjajah, jejak perbudakan itu masih terasa yang ditemukan dalam tindakan rasialis dan diskriminatif.

Di Amerika yang menganut paham demokrasi dan telah memprolamirkan penghapusan perbudakan serta kesetaraan hak bagi kulit hitam di tahun 1865, keturunan Afro-Amerika masih merasakan itu. Floyd korban di antaranya.

Tak hanya di Amerika, di banyak tempat, di balik tirai gelap tentunya, jejak jahiliyah itu masih sering terjadi. Dan karena itu, penganut Islam sebagai ajaran pembebasan tak boleh diam, sebagaimana pembebasan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagaimana pembebasan Bilal oleh Abu Bakar atas perintah Nabi Muhammad SAW.

Dalam perspektif Islam, pembebasan dan kecintaan terhadap kemanusiaan adalah bentuk pelaksanaan keimanan. Seperti Sabda Rasulullah:

“Kamu belum beriman sebelum kamu menyayangi yang lain. Para sahabat berkata,” Wahai Rasulullah, setiap kami menyayangi yang lain,” beliau bersabda,” Yang saya maksud bukanlah kasih sayang salah seorang di antara kamu kepada sahabatnya tapi kasih sayang yang bersifat umum,” (HR Tabrani)

Pada riwayat lainnya, beliau menyampaikan pesan yang sama :  “Sayangilah siapa yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu” (HR. Turmudzi)

Tentang kesetaraan dan kecintaan pada sesama manusia ini, Rasulullah mengulang-ulang pesannya kepada sahabat-sahabatnya di berbagai kesempatan. Sebagaiam pula diriwayatkan Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR Muslim).

Lebih relevan lagi terhadap atas apa yang dialami Floyd, dan tindakan rasial secara umum, Rasulullah telah menegaskan kepada umatnya beratus tahun sebelum Amerika ada ;

Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?” mereka menjawab: Iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.” (HR. Ahmad) 

Singkatnya, kematian Floyd menarik perhatian dan keprihatinan kita bersama sebagai manusia. Bagi umat Islam, patutlah merenungkan kembali pentingnya mendudukkan secara kuat hakikat kemanusiaan pada ajaran tauhid. Terlebih saat ini, umat muslim di sejumlah negara juga tengah terjerumus ke dalam konflik yang menelan banyak korban jiwa. Mari merenungi Firman Allah SWT di dalam Al Quran ;

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦ خَلْقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَٰنِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّلْعَٰلِمِينَ

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Ar Rum 22)

Baca Juga : Pilihan Kita : Jalan Alternatif, Jalan Tengah atau High Politics

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*