Editor 31 Mei 2021

Penulis : Abdul Chalid,.S.IP,M.Si |Dosen Politik UTS

Tahun 2004, masyarakat Indonesia dirundung duka yang dalam. Kota Serambi Mekah, julukan bagi propinsi Nanggroe Aceh Darussalam disapu tsunami nan dahsyat. Menyebabkan korban 167.000 orang, yang meninggal dunia maupun hilang. Tak kurang dari 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Bank Dunia menyebut, total korban dengan yang di daerah dan negara lain, mencapai 230.000 jiwa.

Sampai kini, duka itu tentu masih membekas. Tak hanya di kalangan masyarakat Aceh, tetapi juga bagi dunia.

Meski begitu, besarnya duka dan keprihatinan pada tragedi kemanusiaan yang disebabkan bencana alam tersebut, tak serta membuat oknum tertentu sadar, dan memandang itu sebagai peristiwa yang mesti bersih dari perilaku tercela.

Besarnya bantuan yang mengalir tetap saja membuka peluang penyelewengan bantuan. Terbukti dilakukan oleh salah satu Ketua Lembaga Swadya Masyarakat kala itu. Dan, entah dengan bantuan yang datang dari berbagai arah serta berbekal panggilan kemanusiaan dan kepercayaan itu, bukan tak mungkin terdapat beberapa masalah serupa. Wallahu ‘alam bissawab.

Peristiwa bencana Aceh, telah lama berlalu. Namun, di Indonesia sebagai negeri yang senantiasa di dalam bayang-bayang bencana alam, peristiwa serupa selalu berpotensi terulang.  Data terbaru bisa dilihat pada kasus penyalagunaan dana atau anggaran bantuan sosial Covid 19 tahun 2020.

Potensi penyelewengan dan penyaluran bantuan  yang tak tepat sasaran adalah hal yang selalu diwaspadai pada setiap peristiwa bencana. Sebab itu, lembaga-lembaga kemanusiaan di negara-negara modern menyusun berbagai usaha untuk meminimalisir fraud dengan menyusun sistem atau manajemen bencana yang lebih akuntabel.

Manajemen penyaluran bantuan dikelola secara terencana, terstruktur atau terorganisir, transparan dan akuntabel dari hulu hingga hilir. Sistem ini dibarengi dengan aturan, pengawasan dan pertanggungjawaban serta evaluasi yang turut melibatkan publik.

Bagi masyarakat modern memang berlaku premis, setiap segala sesuatu yang bernilai “money”, selalu berpotensi diselewengkan atau dimanfaatkan secara pribadi. Termasuk bantuan yang bermuatan kemanusiaan sekalipun. Dan pelakunya, juga tak mengenal latar sosial, pendidikan, bahkan agama.

Premis ini dibangun tentu dengan dasar pengalaman panjang dan penelitian akademis di berbagai negara. Dari negara maju seperti Amerika dan Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, hingga negara-negara miskin dan korup di Afrika dan Asia Tenggara.

Di Indonesia misalnya, koruptor benar-benar berasal dari banyak latar itu. Ruang korupsinya juga tak pilah-pilah, dari dana bantuan sosial, pengadaan Al Quran, hingga bantuan bencana kemanusiaan.

Leave a comment.

Your email address will not be published. Required fields are marked*