
Oleh : Abdul Chalid, BP
Kampung Barabaraya dicapai dengan berjalan kaki selama kurang lebih satu jam. Menggunakan kendaraan roda dua, bisa lebih cepat. Tetapi saat musim hujan, sulit diakses dengan moda itu. Curah air hujan yang lebat dari langit membuat permukaan jalanan di kawasan “bopeng” dipenuhi bekas aliran air, dan sering berlumpur.
Kian sulit dengan kondisi medan atau jalur yang mendaki dan terjal. Jalan ke Barabaraya membelah lembah serta meliuk di tepi pegunungan.
Meski begitu, liku jalan ini bukanlah hambatan bagi para relawan sekolah kolong. Sebuah komunitas pemerhati pendidikan untuk anak-anak di pelosok maupun kelompok marginal di perkotaan yang memilih mengajar di kawasan tersebut.
Ansar contohnya. Mahasiswa semester enam, Jurusan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Makassar. Ia telah menghibahkan waktunya sebagai salah satu anggota relawan selama beberapa kurun tahun terakhir di komunitas Sekolah Kolong.
Sudah rutinitasnya, bertandang ke dusun Barabaraya sekali dalam sepekan. Kunjungannya dijadwal dengan beberapa relawan lainnya. Tak jarang, kalau keinginannya muncul, ia memutuskan jalan sendiri.
“Saya biasa berangkat sendiri. Apalagi kalau teman-teman lagi berhalangan hadir. Latar relawan ini berbeda-beda. Biasanya ada yang tidak sempat hadir karena pekerjaan ataupun gegara kesibukan lainnya,” jelasnya.
Ansar berasal dari Kabupaten Gowa. Suatu siang di pekan terakhir bulan Desember 2019, ia menemani saya ke tempat pengabdiannya itu.
Saya sudah merancang kunjungan ini jauh sebelumnya. Informasi tentang Barabaraya dari Ansar juga. Ia sampaikan tentang proyek mereka itu ke saya di sebuah kelas perkuliahan Jurusan Penyiaran Islam, UIN Alauddin. Waktu itu saya sempat diberi kesempatan oleh kampus Islam tersebut mengajar mata kuliah produksi televisi di sana. Dan, Ansar jadi salah satu peserta mata kuliahnya.
Saya produser di salah satu stasiun tv lokal saat itu. Dan, saya tertarik meliput langsung kegiatan mereka. Ansar lalu mengatur jadwal. Ia juga menyampaikan perihal liputan ini beberapa hari sebelumnya kepada rekan-rekannya. Mereka berkomunikasi intensif lewat grup media sosial.
Agenda ini disambut baik, kata Ansar. Rekan-rekannya akan bergabung dalam liputan ini. “Malamnya mereka menyusul kak,” tukasnya ke saya. Karena usia kami terpaut tak jauh, hanya se-jarak dosen muda dan mahasiswa, hehe…, Ansar dan kawan-kawannya di kelas akrab menyapa saya dengan kata, kak.
Meski melalui kawasan hutan, relawan Sekolah Kolong sudah terbiasa berangkat malam hari ke Barabaraya, kata Ansar. Terlebih bila warga di kampung tersebut membutuhkan pertolongan mendesak seperti masalah kesehatan.
Seperti biasa pula setiap anak relawan yang akan ke Barabaraya akan dititipi tugas dari kampung. Ansar yang dikenal suka mendaki gunung dititipi pesanan. Beli tabung gas di pusat desa, kemudian dibawa untuk mendukung kebutuhan memasak di posko.
Tugas inilah, satu di antara beberapa tantangan berat mengabdi di Sekolah Kolong Barabaraya, kata Ansar. Dan, ia yang selalu ditunjuk bertanggung jawab. ” Jalan kaki dengan tabung gas 3 kilo dipunggung, naik turun gunung selama satu jam lebih, lumayan berat. Parahnya, biasanya saya yang selalu diminta oleh teman-teman. Meskipun setiap relawan memiliki kewajiban sama yang tidak tertulis setiap mereka akan ke lokasi,”terangnya disertai tawa.
Selain mengajar anak-anak, relawan Sekolah Kolong memang telah siap memberikan bantuan tambahan bagi warga di kampung Barabaraya. Tiap akan bersambang maka sekali mendayung saja, mereka akan diminta membeli kebutuhan selama mengabdi di sana, baik untuk kebutuhan untuk makan, maupun bahan lainnya seperti ATK.
“Hitung-hitung tidak jalan kosong. Maklum, perjalanan ke dan dari dusun ini cukup menguras tenaga dan waktu. Kalau sudah tiba di Barabaraya, anda akan berpikir dua sampai tiga kali untuk kembali ke luar jalur poros,”jelas Ansar menambahkan.