

Seluruh Kota Italia panik. Entah, musuh datang dari arah mana? Tak ada letupan peluru, tak ada deru pesawat tempur, dan bom meledak. Tapi korban satu persatu bergelimpangan, ambulans tak henti lalu lalang, rumah-rumah sakit sesak dengan pasien yang sekarat. Pada Maret 2020, di negara yang terkenal dengan pizza-nya itu, hampir 1 juta orang meninggal dunia akibat Covid 19, varian baru virus corona yang dua bulan sebelumnya menyebar di Wuhan, Cina.
Dari episentrum awalnya di Wuhan, virus ini menyebar secara cepat ke sejumlah negara Asia, lalu ke Eropa, dan Italia menjadi negara di benua itu menjadi episentrum penyebaran Covid terparah setelah Cina di awal-awal. Banyaknya korban jiwa tergambar dari iring-iringan kendaraan militer Italia saat itu yang terpaksa menggantikan ambulans mengangkut jenasah untuk dikubur secara massal.
Italia bukanlah negara terakhir. Setelahnya, Covid 19 menerobos banyak negara, termasuk Amerika yang dikenal sebagai negara digdaya. Cepatnya penyebaran pandemi ini, membuat tim medis di sejumlah negara mengalami shock dan kewalahan menangani pasien yang melampaui kapasitas infrastruktur kesehatan. Menurut data Universitas John Hopkins, derita yang dialami dunia akibat Covid 19 pada tahun 2020 mencapai 1,88 juta kematian.
Pandemi Covid 19 mulai mengguncang dunia, tepat pada akhir Desember 2019. Badan Kesehatan Dunia, WHO mengonfirmasi pertama pada 30 Desember 2019. Dan, tak lama setelah itu, virus ini melanda berbagai negara serta dinyatakan masuk ke negara kita tercinta, Indonesia. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengumumkan pada Senin, 2 Maret 2020, menjangkiti seorang ibu dan seorang putrinya di Depok, Jawa Barat.
Sejak itu, virus ini terus menyebar ke berbagai wilayah di tanah air yang akhirnya mendorong pemerintah Indonesia menerapkan pembatasan sosial di seluruh aspek kehidupan publik. Termasuk pada ranah pendidikan, baik formal maupun non formal. Dari tingkat paling dasar, hingga perguruan tinggi.
Meski memiliki dampak secara sosial dan ekonomi pada masyarakat Indonesia, kebijakan pembatasan sosial terpaksa diterapkan pemerintah Indonesia karena sejumlah alasan. Pertama, seperti penyakit flu umumnya, Covid 19 menyebar sangat cepat dari manusia ke manusia sehingga dibutuhkan protokol kesehatan yang ketat untuk memutus mata rantai penyebarannya. Tak terhindarkan lagi, Indonesia pada akhirnya menjadi salah satu negara dengan kasus Covid 19 yang tinggi pada tahun 2020. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid 19, kasus aktif yang tercatat pada 29 November 2020 sebesar 71, 658 kasus atau 13, 41 persen. Pada Desember meningkat menjadi 743,198 kasus.
Kedua, saat itu, vaksin Covid 19 belum ditemukan oleh ahli kesehatan di dunia. Termasuk di negara maju seperti Amerika dan negara Eropa. Sampai kini, meski ahli kesehatan di Cina, Rusia, dan sejumlah negara lain berhasil membuat vaksin dan telah digunakan di berbagai negara di dunia, pembatasan sosial, bahkan lock down dengan mengurangi populasi berkumpul di ruang publik masih diterapkan di beberapa negara.
Negara kita pun tak luput. Terakhir ini, sejumlah daerah kembali menerapkan work from home sehingga rencana pemerintah yang akan membuka kembali pertemuan offline secara terbatas di ruang kelas dalam kehidupan pendidikan kita pada Juni 2021 belum dapat dipastikan realisasinya. Jika batal, maka itu berarti kegiatan belajar mengajar dari rumah dan pembelajaran jarak jauh melalui daring tetap berlanjut.
Pemerintah membatasi pembelajaran tatap muka sebagai bentuk antisipasi pemerintah terhadap penyebaran virus Covid 19 melalui sekolah-sekolah. Kebijakan ini diputuskan melalui surat keputusan bersama (SKB) menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri agama, menteri kesehatan, dan menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 01/kb/2020; Nomor 516 Tahun 2020; Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020; Nomor 440-882 Tahun 2020 Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di masa pandemi corona virus disease 2019 (covid-19).
Melalui SKB 4 menteri ini, pembelajaran tatap muka diatur berdasarkan zona tingkat penyebaran Covid 19 di seluruh wilayah Indonesia. Pada diktum kedua SKB disebut bahwa pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan pada tahun ajaran 2020/2021 dan tahun akademik 2020/2021 dilakukan secara bertahap atau tidak serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Kegiatan ini diatur dengan ketentuan, satuan pendidikan yang berada di daerah ZONA HIJAU dapat melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan setelah mendapatkan izin dari pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi atau kabupaten/kota, kantor wilayah Kementerian Agama provinsi, dan kantor Kementerian Agama kabupaten/kota sesuai kewenangannya berdasarkan persetujuan gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 setempat.
Sementara satuan pendidikan yang berada di daerah ZONA KUNING, ORANYE, dan MERAH, dilarang melakukan proses pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan dan tetap melanjutkan kegiatan Belajar Dari Rumah (BDR) serta belajar jarak jauh dengan fasilitas daring. Sebelumnya, pemerintah menerapkan kegiatan BDR dari rumah secara menyeluruh di wilayah Indonesia. Namun melalui SKB 4 menteri ini, pemerintah membuka kran bagi wilayah yang terkendala dengan fasilitas pendidikan dan jaringan internet dapat melakukan pembelajaran tatap muka dengan syarat mereka masuk dalam zona hijau penyebaran Covid.
BDR dan Pembelajaran Jarak Jauh Sebagai Solusi di Tengah Wabah Covid 19
Harus diakui, kebijakan BDR dan belajar jarak jauh dengan daring adalah model pembelajaran yang tepat dalam menghidupkan tatanan pendidikan kita di tengah pandemi Covid 19. Bagaimanapun, pada satu sisi, bila pandemi tidak diantisipasi maka bisa menciptakan bencana kesehatan di negara kita. Namun, di sisi yang lain, pemenuhan pendidikan bagi generasi bangsa merupakan kewajiban berdasarkan undang-undang dan telah menjadi tuntutan di tengah perkembangan masyarakat global. Bila generasi kita tidak terdidik maka di masa depan negara kita bukan tak mungkin akan tertinggal jauh oleh negara lain di dunia.
Namun demikian, BDR dan PJJ sebagai model pembelajaran di masa pandemi Covid 19 ini belum dapat menggantikan efektifnya transformasi pengetahuan melalui tatap muka antara guru dan siswa di sekolah atau antara dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi.
Dalam banyak kasus, dalam proses belajar mengajar BDR dan PJJ target pembelajaran pada kurikulum pendidikan sangat sulit terpenuhi karena kurangnya inisiatif siswa untuk belajar secara serius.
Adalah Anas, anak rekan penulis yang masih duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas di Kota Makassar, sejauh ini mengaku kadang-kadang kurang antusias mengikuti kegiatan belajar karena kurangnya kontrol dari guru. Ia mengaku, kadang cukup mengisi absen melalui online tanpa mengikuti kegiatan belajar secara serius. Anas mengaku sebagai tipe pelajar yang selalu ingin diarahkan dan diawasi oleh guru sehingga memaksa serta memacu dirinya untuk belajar lebih giat.
Namun, Anas masih beruntung karena memiliki orang tua yang peduli pada pendidikan sehingga fungsi pengawasan dan kontrol seringkali diperankan oleh ibunya. Namun bagaimana bagi yang lain? Terutama mereka yang memiliki orang tua yang kurang paham tentang pendidikan. Atau, bagi mereka yang menganggap pendidikan sepenuhnya adalah tanggung jawab sekolah. Tentu, mereka akan mengalami kesulitan dalam belajar.
Hal sama juga dirasakan Syahrul, adik seorang teman penulis yang tinggal di Kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Syahrul juga mengungkapkan, proses belajar mengajar jadi tidak efektif karena guru tidak dapat memaksa setiap murid mengikuti kelas online. Maklum kata Syahrul, sejumlah rekannya di kelas tinggal di daerah pedesaan yang jaringan internetnya kurang memadai. Selain itu, menurut Syahrul, tidak semua teman sekolahnya juga memiliki gawai untuk digunakan belajar secara online.
Penulis menemukan pula kasus guru yang kurang puas dengan model pembelajaran ini. Adalah tetangga penulis, Dirsang, guru olah raga di salah satu sekolah swasta di Makassar mengungkap apa yang dirasakannya. Ia kadang merasa BJJ tampak hanya sebagai kegiatan belajar mengajar yang formalitas belaka. Ia mengaku tinggi-rendahnya antusias dari siswa dalam belajar memberikan dampak pada psikologi bagi dirinya untuk mengajar maksimal atau tidak di kelas daring. Apalagi pada mata pelajaran olah raga yang membutuhkan banyak praktik di lapangan. Dirsang mengaku, tidak dapat memaksakan target dari pembelajaran karena terpaksa pula memaklumi kondisi siswa di tengah wabah pandemi Covid 19.
Di perguruan tinggi, hal ini juga menjadi masalah. Meskipun kegiatan belajar mandiri telah menjadi tuntutan di perguruan tinggi, target pembelajaran tetap sulit dicapai karena kurangnya efektifnya proses evaluasi belajar. Khususnya pada mata kuliah yang berorientasi pada pemenuhan skill, praktikum dan keterampilan lapangan bagi mahasiswa.
Bagaimanapun, pengawasan dan kontrol langsung dalam kegiatan belajar mengajar masih memiliki pengaruh terhadap inisiatif belajar siswa. Di tengah wabah pandemi ini, pemerintah sudah tepat mencoba memberlakukan kembali belajar tatap muka secara terbatas. Sekaligus, menyiapkan tools dalam mengontrol, mengawasi dan evaluasi proses pembelajaran BDR dan BJJ. Semoga sukses…
BACA JUGA :
- Afghanistan dan Ujian Resolusi Konflik di Kalangan Umat Islam
- Menakar Eksistensi Pendidikan Tinggi Vokasi di Tengah Pandemi
- Transformasi Untuk Pembangunan Berkelanjutan